NAFIDATULILMI_Mencintai seorang istri adalah kewajiban suami, bahkan jauh
lebih penting dari itu semua yaitu menjadi penunjuk arah kehidupan rumah
tangganya. Lantas bagaimana jika seorang suami justru tak peduli bahkan dalam
hatinya tak ada sedikitpun cinta terhadap istrinya?
Hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipi seorang
khansa, ia adalah seorang istri yang hidup penuh dengan kecukupan bahkan sangat
lebih dibanding pasangan suami istri lain yang sudah lebih lama berumah tangga
dibandingkan dia.
Selama setengah tahun pernikahannya, yang ia rasakan
hanyalah hampa dan kesepian, sebab suaminya selalu beralasan sibuk dengan
pekerjaan dan aktivitas bersama teman-temannya.
Suaminya selalu pergi pagi dan pulang sore ke tempat
kerjaannya, dengan alasan harus mengontrol semua pekerjaan karyawan konveksi
miliknya, hingga ia harus stand by sama halnya karyawan lainnya.
Suaminya adalah pemilik konveksi itu, lalu kenapa tidak
mempekerjakan orang lain untuk menjadi asistennya saja supaya ia tidak sibuk
sekali dengan pekerjaannya? Khansa tak pernah sanggup untuk mengucapkan kalimat
ini dihadapan suaminya. Suaminya seakan tak pernah memahami bagaimana perasaan
istrinya, hingga saat ia di rumahpun tetap saja sibuk dengan gadgetnya, dengan
alasan bisnis dan lain-lainnya.
Lalu apa yang ada dibenaknya saat istrinya selalu terlihat
murung sebab tak sepatah kata manispun ia ucapkan dihadapan khansa? Bukankah
seharusnya pernikahannya ini masih dalam suasana bahagia sebagaimana pasangan
lain yang baru menjalin maghligainya?
Khansa selalu berusaha khusnudzon dengan suaminya, ia
mencoba terus bersabar dengan sifat suami barunya yang baru ia kenal sebulan
sebelum pernikahannya. Suaminya adalah seorang pemuda yang dikenalkan oleh
ustadz ayahnya di sela-sela kajian rutin yang diikuti ayahnya.
“khansa, jangan sampai kamu kecewa karena menolak lamaran
hikam, percayalah sama ayah, hikam itu anak yang baik dan sholeh, kamu pasti
akan bahagia jika jadi istrinya.” Itulah kalimat yang terus terngiang di
telinga khansa, kalimat yang dulu membuatnya berbunga-bunga saat ayahnya
memperkenalkan seorang lelaki pertama kali dalam hidupnya yang akan
meminangnya.
Lalu, apa semua kalimat yang ayah khansa ucapkan itu hanya
sekedar lamunan kosong semata?
Mana kebahagiaan yang selama ini diimpikan dan
diharapkannya?
Laki-laki macam apa yang ternyata sedikitpun tak pernah
mencoba membahagiakan istrinya sejak pertama sah memilikinya?
Khansa sudah enam bulan menikah, tapi rasanya hidupnya makin
hambar, wajah cerianya kini tergantikan dengan pesimisme dan kegundahan.
Hari-harinya hanya diisi dengan perkataan biasa dan tak mengundang semangat
sedikitpun baginya. Auranya kini mulai layu, seakan kesedihannya tergambarkan
semua di wajahnya.
“mas hikam, khansa kangen ayah sama umi mas, besok lusa kita
jenguk mereka yuk? Khansa mencoba memulai membuka diskusi hangat dengan suaminya,
namun reaksi suaminya....
“de..besok sampai lusa mas ada acara di luar kantor sama
rekan bisnis mas, jadi bisa nggak kalo ke rumah ayahnya minggu depan saja?”
jawab hikam.
Itupun dijawab dengan mata masih fokus menatap laptop, tanpa
tau bahwa air mata mulai membasahi wajah istrinya.
“mas mau naik sepeda kaya biasa ya de, udah lama gak ke
tempat kerja sepedaan.” Ujar hikam
disuatu pagi hendak berangkat kerja.
“iya mas, hati-hati ya mas, khansa sayang mas...” cium
tangan dan pipi khansa kedua pipi suaminya.
Begitulah cara khansa membuat suaminya peka terhadapnya, ia
terus mencoba memulai untuk menciptakan suasana romantis saat bersama suaminya,
namun begitu, kesan suaminya datar dan biasa saja.
“Iya de, mas berangkat yah...” itu saja jawabannya.
---------------------------------------------------------------------------------------
Malam itu saat khansa terlelap dalam tidurnya...
“de, de....bangun de.....” aduh.......shhhh... aduh...
“ma...mas.....kenapa mas, mas kenapa?” khansa panik
sejadi-jadinya.
Suaminya terus memegang dadanya dan mengeluhkan sakit serta
panas di bagian dadanya, sesak, perih.
“de, panas de, dada mas, sesek....” ujarnya mengeluh.
Khansa kelimpungan...
“khansa ambilin air putih ya mas, yang sabar mas, mas .....”
ia langsung lari menuju dapur dan membawa segelas air putih.
Nampaknya setelah meminum air itu hikam sedikit merasa
tenang, rasa panas dan sakit di dadanya mulai berkurang, khansa juga kompres
dada suaminya dengan handuk agak basah, ternyata itu buat sakit di dada hikam
mulai hilang.
“mas, kita ke dokter sekarang ya, mumpung masih pagi, nanti
khansa pesen gokkar buat ke dokter ya mas,” hikam hanya menurut apa yang
istrinya lakukan, sebab dadanya masih terasa sakit dan panas pagi itu.
------ ------------- ---------------------------
“begini mas, apa mas pernah punya pengalaman jatuh atau
tabrakan?” ucap dokter.
“jatuh....” hikam kaget.
“mas pernah jatuh?” khansa juga kaget.
Hikam kemudian menceritakan apa yang pernah ia alami sebulan
sebelum minikahi khansa. Saat ia bersepeda dengan teman-temannya di sebuah
kampung di bogor, ia terpeleset dan jatuh, punggungnya membentur batu.
“kejadian beberapa bulan lalu itu bisa jadi penyebabnya mas,
awalnya memang tidak dirasa, kebanyakan memang seperti ini kasusnya,” ujar pak
dokter.
“jadi apa sebenarnya dok?” khansa terlihat makin cemas.
“jadi, suami mba kemungkinan terkena syaraf kejepit.” Ucap
dokter.
“ya Allah mas.....” khansa langsung menghambur memeluk
suaminya, ia menagis di depan pak dokter, tak peduli dimana, ia langsung menangis memeluk suaminya yang
masih tertidur.
----- --------------- -----------
Dan Mulai saat itu kehidupan rumah tangga khansa berubah,
rutin seminggu sekali suaminya harus ia antar kontrol ke dokter orthopaedi.
Hikam positif terkena suatu penyakit sebab jatuhnya dulu, yang akibatnya jika
tidak diobati secara intensif akan membuatnya tak bisa berjalan alias lumpuh.
“mas, makan dulu mas, khansa udah buatin buburnya....” entah
kenapa, sakitnya suaminya justru semakin membuat khansa bahagia tetapi juga
sedih.
Bahagia karena ia semakin merasa dekat dengan suaminya, sedih kenapa
harus dengan sakitnya dia khansa baru merasa sedekat itu dengan suaminya.
“de, apa kamu akan mau terus sama mas kalo nanti mas benar-benar
lumpuh gak berdaya.” Ujar hikam disela-sela suapan buburnya oleh khansa.
“mas......” khansa langsung memeluk suaminya, ia menangis
dipelukan suaminya. Ia peluk erat suaminya. Entah kenapa perkataan itu terasa
begitu menyakitkan dihati khansa, kenapa suaminya yang ia adalah cinta dan
kasih pertama yang ia harapakan akan selamanya bersamanya bisa berucap seperti
itu, rasanya begitu sakit buat khansa.
“mas, khansa sudah mas pilih dari sekian banyak wanita di
luar sana, mas rela pilih khansa dan menikahi khansa, dan khansa juga sudah
ridho dengan semua takdir yang Allah pilih, mas adalah yang dipilihkan Allah
buat khansa, mas adalah yang pertama buat khansa juga yang terakhir,
bagaimanapun kondisi mas, khansa akan tetap disamping mas...mas jangan bilang
begitu lagi, khansa gak mau denger itu lagi mas, percayalah mas, khansa akan
selalu disamping mas.”
Tak terasa air mata dua insan itu mengalir bersamaan, hikam
tak kuasa menahan airmatanya atas ucapan istrinya yang selama ini ia sia-siakan
kebaikannya, ia sadar, ternyata istrinyalah harta yang tak ternilai baginya,
bukan uang dan semua kekayaan yang ia idamkan selama ini, tapi istrilah yang
harusnya ia selalu perhatikan dan jaga.
--------- -------------- ----------
Dua bulan setelah itu, kondisi hikam makin tak membaik,
bahkan kini kedua kakinya terasa sakit saat diinjakkan untuk melangkah,
setengah badannya bagian bawah terasa makin melemah, hanya tangan dan kepala
yang masih bisa digerakannya, bahkan tiga bulan setelahnya ia positif harus
menggunakan kursi roda, sebab kakinya tak lagi sanggup berdiri menahan beban
tubuhnya.
“solusi yang mas hikam harus jalani yaitu operasi, jika
tidak maka takutnya berdampak lebih parah, bahkan lumpuh total.” Ujar dokter.
Laa haula wala quwwata illa billah. Ujian apalagi ini yang
akan ditanggung hikam dan khansa, seakan baru kali ini ia rasakan begitu berat
ujian bagi keluarga barunya itu, keluarga baru yang seharusnya masih menikmati
awal-awal romantisme rumah tangga, tapi kini ia jalani dengan penuh ujian yang
terasa begitu berat bagi mereka.
“mas yang sabar ya mas, selagi khansa masih kuat melangkah,
mas akan khansa jaga mas, khansa ga bakal ninggalin mas kapanpun, khansa akan selalu ada di samping
mas.” Hikam tak kuasa lagi menahan air
matanya, ternyata cinta istrinya begitu besarnya, sebegitu dalam dan ikhlasnya,
ia tak habis fikir bagaimana jika khansa yang ada diposisi hikam sekarang,
apakah hikam akan masih setia seperti khansa?
“de, maafin mas ya, mas selama ini kurang peduli denganmu,
maafin mas ya sayang, terima kasih sudah mau menemani mas yang seperti
ini.” Khansa memeluk suaminya, ia
menagis penuh bahagia, suaminya kini semakin mengerti bagaimana perasaan
istrinya yang sesungguhnya, bahwa cinta suci tidaklah akan hadir kecuali karena
keikhlasan dan kesungguhan dalam memperjuangkannya.
“de, mas mau panggil adek sekarang dengan sebutan dinda saja
ya...” ucap hikam di saat khansa menyuapinya sarapan.
Khansa agak terkejut dengan ucapan suaminya tapi juga
penasaran.
“apa mas, dinda?” pipi khansa merona. Baru kali ini kalimat
romantis itu terdengar kembali dari suaminya.
“iya dinda....dinda sayang.” Ucap hikam yang makin buat
khansa tersipu-sipu. Suit..suit...
“ah mas, ini....” khansa makin merona.
“dinda jangan panggil mas donk...tapi kanda....kanda sayang
gitu...” aduh duh...hikam makin buat khansa meleleh saja pagi-pagi.
“iya deh..kanda...sayang....” ucap khansa dengan nada penuh
malu.
Akhirnya cerita adinda dan kakandapun terus terdengar di
rumah tangga kecil khansa dan hikam, panggilan itu semakin membuat mereka
menjadi saling mencinta, kalimat sayang kini tak pernah luput dari panggilan
mesra hikam kepada istrinya. Khansa.
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar