“bagaimana dek biah, apa lamaran anak kami di terima?” aku
hanya terdiam mendengar pertanyaan seperti itu lagi, sudah kesekian kalinya
rumahku di datangi seseorang yang mencoba melamarku, tapi dengan tegas dan
baik-baik aku menolak mereka lagi.
“”maaf pak sebelumnya, jujur saja, saya sudah memiliki
pilihan sendiri pak, sekali lagi atas nama keluarga saya minta maaf....”
Semua laki-laki yang datang penuh harapan, pulang hanya
dengan tangan hampa tanpa jawaban yang diharapkan. Aku juga tidak mungkin
memaksakan diri untuk menerima salah satu diantara mereka, sebab setelah mereka
mengenalkan diri dan cerita tentang kepribadian mereka, nampaknya tak satupun yang buat hatiku bergetar
dan condong untuk mengatakan “iya, saya terima.”
Dan karena terlalu khawatirnya keluargaku, bahkan salah
seorang mbakyuku pernah berkata begini,”biah, kalo terlalu milih-milih calon
suami apalagi sering menolak lamaran orang, mbakyu takut nanti kamu bakal jadi
perawan tua....” aku hanya tersenyum mendengar perkataan mereka, meski kadang
juga terlintas rasa khawatir, apa mungkin aku akan jadi perawan tua?
Tidak!! aku hanya menanti seseorang yang memang nyaman dengan hatiku, calon
imam yang mampu membimbingku, dan memelihara ibadahku, seorang lelaki yang
mampu mendidik dan menasehatiku. Bukan sekedar mapan pekerjaannya, tapi ada
yang lebih penting dari itu, pengetahuannya tentang ilmu dan agama ini.
------ ---- -------
“biah, yang sabar ya....mbakyu sudah nanya ke bu dhe nunik
soal pemuda yang ada di biodata itu, tapi....”
“tapi kenapa mbakyu...?” mbakyu ningsih ternyata sudah
menanyakan soal pemuda yang ada dibiodata itu, aku harap hasilnya memang
sebagaimana yang kuharap...
“tapi dia sudah nikah, dua minggu yang lalu biah, orang
tuanya sudah menjodohkan dengan anak temannya, kata bu dhe nunik....” jelas
mbakyu ningsih.
Saat itu juga aku rasa tubuhku melemas, entah kenapa.
Harapan bahagiaku ternyata kandas, orang yang selama ini aku harap hadir
menjemputku menuju mahligai kebahagiaan ternyata lebih dulu dengan orang lain
pilihan orang tuanya, meski aku memang tak pernah melihatnya, bahkan belum
pernah sekalipun kumelihat wajahnya, tapi aku rasa, ada yang berbeda dan kurasa
cocok saat membaca biodatanya, juga saat ustadzah menceritakan sikap dan
perilakunya. Aku tak tau lagi harus berbuat apa, sudah banyak doa-doa yang
kupanjatkan, tapi kini seakan tak ada lagi yang aku harapkan, selain pasrah
kepada takdir yang masih menjadi rahasia di lauhul mahfudzNya.
----- ---- -- ------ ----
Semenjak kabar menikahnya pemuda itu kini aku semakin tak
peduli dengan kalimat sakral itu, nikah, ya...seakan gairahku telah luntur,
entah apa yang buatku jadi berubah, tapi saat keluargaku membujukku untuk
sekedar menerima tamupun, aku tak mau lagi, bahkan aku mengatakan untuk tak mau
diganggu lagi dengan hal apapun yang berhubungan dengan menikah, aku merasa
telah kalah sebelum bertanding, tak ada yang perlu dibahas dan diharapkan lagi,
sebab semua yang datang kepadaku memang selalu tak pernah satupun yang seperti
harapanku.
“biah, ada tamu mau ketemu sama kamu, sebentar saja
katanya....” mbakyu lastri membujukku untuk menemui tamu sore itu, berkali-kali
mbakyu membujukku, tapi aku tak bergeser sedikitpun dari kamarku. Aku memang
tak mau lagi bertemu dengan tamu-tamu yang sudah kuduga pasti akan membicarakan
soal pernikahan, aku sedang tak mau membahas hal itu.
“biah, mbakyu malu kalo kamu gak mau nemui ....” kini
giliran mbakyu ningsih yang membujuk.
“katanya suruhan kyai cholil biah, nanti kalo dia pulang
tanpa menemui kamu, malulah keluarga kita sama pak kyai biah....”
Kyai cholil? Ada apa kyai cholil menyuruh seseorang
menemuiku? Rasanya aneh sekali, seorang kyai
cholil salah satu tokoh yang dihormati di kampungku, bahkan
kampung-kampung lain, sebab ia memiliki sebuah pondok yang terkenal itu, meski
aku dulu pernah nyantri setahun di sana, tapi saat aku mondok di al-yataama
semua memang sedikit berbeda dengan yang ada di pondok pak kyai yang masih
menjaga ketradisionalannya itu.
“ini biahnya pak, silahkan bicara langsung saja.....” ucap
mbakyu lastri kepada seseorang yang katanya utusan pak kyai itu, aku duduk
seperti biasa, dikursi kayu dibelakang sofa ruang tamu, mbakyukulah yang duduk
menemani tamu itu sedari tadi.
“nak biah, saya utusan dari pak kyai cholil kepada mbak biah
dan keluarga, tapi pak kyai bilang kalo saya harus langsung ketemu dan
menyampaikannya langsung ke nak biah, jadi maaf, kalo saya ganggu nak biah....”
ucap utusan itu. Aku hanya mengangguk kecil, tanda bahwa aku memang setuju bertemu dengan dia meski berat langkah ini jika
saja mbak ningsih tak memaksanya.
“begini nak biah, kyai cholil yang sudah semakin sepuh
menginginkan putra ketiganya untuk segera menikah, sebab dialah yang akan
menggantikan posisinya nanti, berhubung anaknya tak ada yang laki-laki kecuali
yang satu ini, jadi dialah yang akan menggantikan kyai nantinya, namanya hasan,
baru satu bulan ini lulus dari pesantren gontor di jawa timur, dan maksud saya
datang kesini adalah, menyampaikan lamaran kyai cholil untuk anaknya hasan
kepada nak biah untuk menjadi istrinya.....”
DEG.....!!! Kontan saja aku tergaket dengan lamaran itu. Apakah
mungkin seorang kyai cholil melamarku untuk dijadikan sebagai menantunya?
Bukankah dia tau seperti apa diriku sekarang? Bukankah dia tau alumni mana
diriku? Bukankah dia tau seperti apa penampilanku sekarang?
Aku masih belum percaya,
kalo kyai cholil melamarkan anaknya untukku.
Dan akupun
sudah siap-siap untuk mengucapkan kalimat yang selembut mungkin untuk menolak
tawaran kyai kholil.
“maaf pak, apa bapak benar tidak salah rumah?” tanyaku
kepada utusan itu.
Kulihat ke arahnya,ia terlihat tersenyum, kemudian ....
“gak nak, saya gak salah alamat, saya disuruh kyai cholil
untuk datang ke sini, ke rumah nak biah, untuk meyampaikan lamaran putranya, hasan.” Ia mencoba
menegaskan, kali ini aku tak lagi mengelak, kyai cholil benar-benar melamar
untuk anaknya, hasan
namanya. Aku bahkan tak tau kalo kyai cholil memiliki seorang anak laki-laki,
karena setauku kyai cholil semua anaknya perempuan.
“apa kyai cholil sudah tau kondisiku sekarang pak? Apa dia
tidak salah pilih? Bukankah masih banyak santriwatinya yang lebih cocok dan
lebih pantas untuk menjadi menantu kyai daripada saya pak?”
utusan
itu terdiam sejenak, ia mencoba berfikir dan kemudian menjawab pertanyaanku...
“nak biah, saya hanya menyampaikan lamaran saja ke sini,
soal pertanyaan tadi, saya tidak tau nak, nanti bisa nak biah tanyakan langsung
saja ke pak kyai, rencananya pak kyai akan langsung datang ke sini nanti, kalo
nak biah memang membolehkannya....”
Aku bimbang. Bukankah kyai cholil akan mencarikan anaknya
istri yang harusnya satu pemikiran dengannya? Kenapa dia tiba-tiba melamarku
untuk putranya? Akupun masih ragu, atau ini hanya semacam....ah, aku tak mau
suudzon dulu, lebih baik aku serahkan segalaya pada pemilik hati ini.
---------------Dan,
beberapa hari kemuadian….
“nak biah, jangan kaget kalo saya datang ke sini, karena apa yang disampaikan utusan saya kemarin benar adanya, saya melamar nak biah
untuk anak saya, hasan....”
ucap kyai kholil dengan penuh tawadhu dan
wibawa khas seorang kyai.
kyai cholil datang dan mengaskan kepadaku akan lamarannya untuk anaknya itu. Aku tak tau
harus menjawab apa saat itu, ada banyak hal yang harus kupertimbangkan, selain
cara pandangku dan kyai cholil yang sudah pasti berbeda.
“nak biah...saya yakin, nak biah pasti ragu-ragu karena nak
biah masih berpandangan kalo saya berbeda dengan nak biah, iya kan?” pertanyaan
kyai cholil makin buatku kaku untuk berkata-kata, karena kematangannya dan
kewibawaannya itu telah buatku makin merasa kecil, sebab dibandingkan diriku,
sudah pasti kyai cholil jasanya lebih banyak untuk masyarakat dan agama ini.
Aku mencoba menenangkan diri, mencoba untuk menjawab sebisanya. Tubuhku agak bergetar, entah kenapa tak
seperti sebelumnya, padahal ini adalah kesempatan
yang keberapa aku menghadapi situasi yang sama, dan harusnya aku sudah
terbiasa.
“maaf pak kyai, maaf sebelumnya....pak kyai pasti sudah tau
saya mondok di mana, pka kyai juga pasti sudah tau pandangan dan cara
berifkirku seperti apa, maaf pak kyai...bukankah masih banyak santriwati pak kyai yang lebih baik dan
pantas untuk menjadi menantu pak kyai dibanding saya pak kyai....” ucapku
sejujurnya.
Pak kyai memperbaiki posisi duduknya, aku hanya tertunduk,
kini aku benar-benar duduk di hadapan pak kyai, hanya beberapa meter di
hadapannya.
“nak biah, bukankah apa yang dipelajari di pondok saya juga
sama dengan yang dipelajari di pondok nak biah? Kenapa harus sedikit perbedaan di antara kita dijadikan
penghalang untuk sesuatu yang lebih mulia dan bermanfaat bagi banyak orang nak biah?
Masalah cara berfikir dan pandangan yang berbeda, selama nak biah menghormati
dan mau terus mencari yang paling benar, selama itu juga saya akan menghormati
pendapat nak biah....gimana?”
Aku terkagum dengan pernyataan pak kyai, pantas saja
sosoknya begitu dikagumi dan dihormati warga kampung dan orang banyak di luar
sana, ia selalu mengedepankan rasa hormat dan rendah diri, meski saya yakin,
ilmunya sudah begitu luas dibanding denganku yang hanya mondok lima tahun.
Aku masih terdiam, masih berfikir apa yang harus aku ucapkan unuk menjawab
pertanyaan pak kyai...
“nak biah, ndak harus dijawab sekarang, saya juga tak akan
memaksakan kehendak seseorang, tapi saya mohon, nak biah jangan memandang kalo
saya dan pondok saya itu selalu dikiasakan dengan hal-hal yang serba tradisional
dan kolot sebagainya, kami terbuka nak biah, mana yang benar, itulah yang akan
kami ikuti, itu sudah jadi prinsip pondok kami....” ucapan terakhir yang
mebuatku makin sadar, ternyata perasaan suudzonku telah mengambil banyak
kebaikan yang harusnya aku dapatkan dari orang-orang yang telah kenyang dengan
asam garam dan telah penuh jiwanya dan raganya oleh ilmu yang ia dapatkan.
Pak kyai pergi dengan meninggalkan sejuta tanya di hatiku,
apa pak kyai benar-benar akan mengikuti kebenaran meski resikonya ia akan
ditinggal ribuan jamaahnya itu? Apa mungkin pak kyai akan merubah semua cara
pandangnya? Aku bahkan bingung, pak kyai juga tak sedikitpun menerangkan
seperti apa putranya, ia hanya menanyakan kesiapanku untuk menjadi calon istri
anaknya.
Apakah benar, jika aku menikah dengan anaknya nanti pak kyai
akan menerima semua perbedaan cara pandangku dengannya? Apakah anaknya itu juga
akan menerimaku sebagaimana pak kyai? Aku masih gelisah, takut kalu pak kyai
ternyata memaksa anaknya untuk menikahiku, aku tak mau, tak mau pernikahanku
karena terpaksa, apalagi kami memang masih merasa berbeda dengannya.
“ibu serahin semua ke kamu nduk....mbakyumu juga pasti
begitu, ibu yakin.” Ucap
ibuku.
“tapi bu...apa biah pantes jadi menantu pak kyai?” jawabku.
“nduk...jodoh itu ndak liat pantes apa ndaknya, ya kalo
sudah jodoh mau diapain juga
tetep saja jodoh nduk...berdoa yang banyak nduk, serahin semua ke gusti Alloh
nduk, ibu yakin, pak
kyai itu orangnya baik nduk, niatnya ngelamar kamu juga pasti baik nduk, ibu yakin nduk....”
Memang betul kata ibu, pak kyai tidak mungkin berniat yang
tidak baik, meski cara pandangnya sedikit berbeda denganku, tapi semua orang
tau sifat baik dan rendah hati pak kyai, pak kyai pasti ndak niat yang
aneh-aneh, dia murni melamarku untuk putranya.
-----------------------//---------------------
“bismillah, in sya Allah biah terima
lamaran pak kyai....”
“alhamdulillah.......” semua yang hadir saat itu mengucap
syukur, entah apa yang harus aku katakan saat itu, hari itu juga anak pak kyai
ikut, hasan. Wajahnya mirip sekali dengan pak kyai, kata orang ia ibarat pak
kyai waktu muda dulu, memang benar, meski hanya sekilas, aku memang menemukan
sosok pak kyai pada rupa hasan, tapi tak taulah, apakah akhlaknya juga seindah
pak kyai. Akupun masih bimbang
sebenarnya, tapi entah kenapa ada dorongan yang kuat untukku tak menolak
lamarannya itu.
Hari itu juga, pak kyai langsung menentukan tanggal
pernikahan kami, pak kyai tak mau menunggu lama, kebaikan akan semakin indah
jika disegerakan, ujar pak kyai.
“alhamdulillah bu, biah akhirnya mau nikah juga...” ucap
mbakyu ningsih.
“iya ning
alhamdulillah, doa kita
terkabul, moga saja biah cocok dengan anak pak kyai...”
“iya bu, saya juga ikut seneng biah akan jadi mantunya pak
kyai, orang yang luar biasa baik bu...”
--- ----- ---------- ----------------
baca juga: Cinta Seorang Biah 1
--- ----- ---------- ----------------
“ini maharnya pak penghulu....” pak kyai menyodorkan sebuah map ke pak
penghulu.
“apa ini pak kyai? Apa ndak salah pak kyai?” pak penghulu
terkaget-kaget, saat pak kyai memberinya selembar map itu.
“ndak pak penghulu, itu benar mahar untuk biah....” pak
penghulu masih tak percaya dengan mahar yang diberikan pak kyai untuk
pernikahan anaknya itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda masih belum
percaya.
“baiklah pak kyai...” ucap pak penghulu dengan muka masih tak percaya, dan pak kyai terlihat tersenyum simpul.
Mahar nikah hanya beberapa lembar kertas? Apa isinya? Akupun
tak tau. Hanya pak kyai, hasan dan penghululah yang tahu. Sebenarnya, Aku hanya
meminta mahar hafalan Al-Quran dari calon suamiku, surat yusuf....itu saja,
sebab mahar terindah dan terbaik bagiku adalah mahar yang dicintai oleh Pemilik
kalam itu, agar nanti menjadi bukti akan kesucian niat dan cinta kami di hadapan
Rabb Sang Maha Cinta di akhirat kelak.
“saya nikahkan dan kawinkan, rabiah aldaawiyah binti rasyidi, dengan hasan kholilullah bin kyai cholil, dengan
maskawin hafalan surat yusuf
dan pesantren an-najah dibayar tunai.... ”
Semua hadirin takjub dan heran dengan apa yang diucapkan pak
pengulu, pak kyai menjadikan pesantrennya untuk mahar??? Apa tidak
main-main????!!!!
Aku kaget,
kami kaget, semua yang hadir tak habis fikir dengan apa yang dilakukan kyai dan
keluarganya. Tapi itulah adanya.
“saya terima nikah dan kawinnya, rabiah aldawiyah binti rasyidi dengan maskawin
hafalan surat yusuf dan
pesantren an-najah dibayar tunai...”
“SAH....?!!!”
ucap pak penghulu.
“SAHHHH....!!!
ALHAMDULILLAH......” disambut
gemuruh penonton yang hadir saat itu.
Aku tak menyangka, inilah bukti, bukti akan kebaikan dan
kesucian niat pak kyai...dia memang seorang yang pantas sekali dijadikan
contoh, seorang yang benar-benar baik hablum minallah dan hablumminannasnya,
pak kyai......
Aku terharu, bahkan semua jamaah yang hadir ikut merasakan
apa yang aku rasakan saat itu. tak di sangka, Pak kyai menyerahkan kepemilikan
pesantrennya itu kepadaku dan suamiku, anaknya.
“biah, saya memang sengaja tak memberi tahu dulu soal
pesantren an-najah, semua saya serahkan pada kalian berdua sekarang, sudah
saatnya pesantren ini menuju perubahan, jadikanlah pesantren ini pusat
perubahan warga kampung kita, jangan lupa, bermuamalahlah yang baik dengan
warga, karena semua ilmumu akan sia-sia, jika sekedar duduk diam di dalam
pesantren....”
Air mataku mengucur deras, aku tak sanggup berkata-kata saat
pak kyai yang sekarang sudah sah menjadi bapakku itu mengucapkan selamat dan
nasihatnya di detengah acara walimatul arusy.
Ada rasa yang tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun,
di mana penantian panjangku dan doa-doaku tak pernah Allah biarkan hilang
dihembus angin dan putus harapan, inilah bukti keteguhan hati dan keyakinan
akan janji Allah, aku tak lagi merasakan kecuali kebahagiaan yang serasa tak
berujung. Aku sangat bahagia.
pak kyai memang sudah terlalu sepuh untuk terus mengurus pesantrennya,
pesantren yang sudah menghasilkan beribu dai dari seluruh penjuru nusantara,
kini aku dan suamiku yang harus menggantikan posisinya, aku merasa belum
saatnya, tapi mau bagaimana lagi, pak kyai sudah memutuskan, dan semua sudah
terjadi, aku harus kuat
menjalaninya…
“abah,hasan
mau bikin awal perubahan bah...”
ucap suamiku.
“silahkan nak, pesantren ini sudah jadi hak kalian, semua
terserah kalian, saya akan ikuti dan dukung saja dari belakang...” ucap pak
kyai.
Sebulan setelah pernikahan kami, suamiku benar-benar membuat
perubahan, pesantren kami kini dirubah namanya menjadi HIDAYATUN NAJAH....Hidayatun
Najah, memang sangat tepat menurutku, suamiku adalah sosok yang sangat mirip
dengan ayahnya, kyai cholil. Meski ia hanya lulusan pondok darussalam gontor,
fikirannya terbuka bahkan cenderung sama denganku, itulah kenapa, pak kyai memilihku
sebagai menantunya, ternyata anaknya sepemikiran denganku.
----------@baba meiza_Cianjur,
sabtu 29 november 2015, 07:51--------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar