suatu hari....
“biah, apakah kamu akan terus menanti laki-laki impianmu
itu? Apa kamu tidak memikirkan nasib ibumu biah?” sore itu, kembali beberapa
kakak iparku berbondong-bondong mendatangi rumah dan menasehatiku untuk
menerima salah satu lamaran pemuda di kampungku.
“biah belum menemukan yang cocok mbak yu...biah ndak mau
terpaksa menikah mbak yu....” ucapku sejujurnya.
“calon suami seperti apa yang kamu inginkan biah? Bukankah
anaknya pak komarudin juga baik, rajin sholat lagi....cocok sama kamu
biah....!”
“mbak yu....biah tau itu mbak....tapi......”
“tapi kenapa biah?”
“tapi.....ada seseorang yang sedang biah tunggu mbak
yu......”
Semua mata langsung tertuju kepadaku, terlihat begitu
serius, entah itu tanda dari rasa kaget dan heran mereka, atau penasaran dengan
siapa orang yang aku maksud itu.
“siapa dia biah, cepat katakan.....biar mbakyumu ini
langsung hubungi keluarganya...”
Aku terdiam, pertanyaan mbakyu kembali lagi terulang, bahkan
hingga tiga kali, namun tak ada respon dariku.
“biah.....kamu jangan bikin mbakyumu bingung begini...nanti
kalo mas-masmu nelpon dan nanya lagi kami juga bingung harus jawab apa
biah.....biah....” mbakyu ningsih menepuk tanganku, meski aku tau dan memang
sadar benar apa pertanyaan mbakyuku, tapi aku masih diam.
“biah....”
Tiba-tiba suara ibu dari kamar terdengar memanggil
namaku.....
”terima kasih ibu, engkau telah menyelamatkanku kali ini,”
ujarku dalam hati. Meski aku lihat ada raut-raut kekecewaan di ketiga wajah
mbakyu iparku itu.
“iya bu.....” aku langsung meninggalkan ketiga mbakyuku
menuju ibu....
Aku tersenyum, seperti biasanya, jam sembilan pagi ibu
memang selalu minta di lap tubuhnya dengan air hangat, sebab terasa lengket
kata ibu kalo sehari saja tubuhnya gak di lap, sebagai ganti mandinya.
“iya bu...sebentar ya biah ambilin air hangatnya dulu...”
ucapku.
“tidak usah biah...” langkahku terhenti, ibu tidak mau di
lap badannya pagi ini? Aku agak kaget....
“kenapa bu? Bukannya ibu mau di lap badannya biar segeran
bu?”
“nanti saja nak, sini duduk sebentar .....”
Ibu kali ini tidak mau di lap, tapi dari raut mukanya ibu
seakan ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
“iya bu....” aku lantas duduk di samping kanan ranjang ibu.
Aku pegang tangannya yang mulai keriput dan tak terisi daging lagi itu.
“biah....ibu tau, mbakyu-mbakyumu pasti sedang menanyakanmu
soal lamaran-lamaran pemuda kampung sini kan?”
Ibu, mana mungkin aku akan menjawab bahwa aku menolak semua
yang melamarku kepadamu? Sedang saat
melihat raut sayumu itu aku tak sanggup berkata sepatah katapun kecuali aku
takut itu akan memperparah kondisimu bu...!?
“ibu......biah masih butuh waktu untuk memutuskan semuanya
bu, biah masih ragu untuk memilihnya bu....” aku takut kata-kataku membuat
semakin berat beban di hati ibu, tapi aku bingung harus menjawab apa, hingga
tak kusadari kata-kata itu keluar seiring dengan tetesan air mataku.
“biah......ibu mengerti nak, ibu mengerti....sudahlah
biah....ibu tak akan memaksamu untuk secepatnya mengambil keputusan itu, ibupun
tak akan memaksamu harus mau menerima lamaran salah satu diantara mereka yang
melamarmu, sebab keputusan itu ada padamu biah, ibu akan ikuti apa keputusanmu
nak.....jangan khawatirkan ibu...”
“tapi bu......”
”biah.....menikah itu hal yang mulia nak, ibu tak ingin
kemuliaan itu retak bahkan hancur hanya karena kalian berdua tak memiliki rasa
saling menerima nak.....menikah itu harus dengan keikhlasan kedua belah pihak
nak.....”
“ibu.......” aku peluk tubuh lemah nan sayu itu, ada
kehangatan yang menyeruak meliputi kebekuan hatiku, meski raganya begitu rapuh,
tapi jiwa bijak nan mulianya tak pernah redup, bahkan makin bersinar saat
raganya mulai layu.
---------- ---- ------
“ANAK SIAPA MEMANGNYA DIA..!, BERANI SEKALI MENOLAK LAMARAN
PUTRA SULUNGKU!!!” kemarahan lurah murad
meluap-luap saat lamaran putranya aku tolak. Aku sengaja menitipkan pesan
kepada pak dhe diryo untuk menyampaikan permohonan maafku dan keluargaku karena
tak bisa menerima lamaran putranya, mahmud.
“heh diryo....apa keluarga si biah itu mau macem-macem
dengan saya!!!” gertak pak
lurah.
“maaf pak lurah,,,saya kesini Cuma nyampein pesen keluarga biah saja pak,
kalo masalah yang lain saya kurang tau, maaf pak lurah....” jawab pak dhe
diryo.
“ah....sama saja kamu dengan mereka, pokoknya....saya tidak
terima dipermalukan seperti ini. Tunggu saja nanti biah.......!!!!”
Pak dhe diryo yang langsung datang ke rumahku lantas
menceritakan semua kejadian saat di rumah pak lurah murad, tapi aku sengaja
tidak mempersilahkannya masuk kedalam rumah, takut ibu mendengar, aku dan
mbakyu-mbakyuku hanya ngobrol di teras rumah dan tanpa meninggikan suara, meski
kadang mbakyuku ada yang menjerit saat denger kalo pak lurah mau bikin balasan
karena merasa dipermalukan oleh keluargaku karena aku telah menolak lamarannya.
“duh biah....mbakyu jadi khawatir kalo pak lurah sudah marah....mbakyu
khawatir keluarga kita nanti diapa-apain biah.....” ujar mbak lastri.
“iya biah, pak lurahkan orangnya tegaan, pasti bakalan
nglakuin apa aja kalo sudah kepalang marah biah....”tambah mbak ningsih.
“mbakyu.....keputusan ini biah yang ambil, jadi mbakyu ndak
usah pada khawatir mbakyu, biah yakin, pak lurah pasti tau kalo yang membuat
keputusan adalah biah, dan tak ada sangkut pautnya dengan mbakyu atau keluarga
biah yang lain, biah yakin sekali mbakyu.....”
“tapi biah, bagaimanapun kalo orang sudah marah apalagi
sampe sumpah serapah begitu, apapun pasti bakal dilakuin biah....” mbakyu
ningsih kali ini terlihat yang paling kuatir, sebab suaminya mas ahmad (kakaku
yang kedua) sedang ikut proyek milik pak lurah di sumatera, ia pasti khawatir
kalo malah mas ahmad yang nanti kenapa-napa.
“mbakyu....biah yang akan tanggung jawab semuanya mbak,
mbakyu dan pak dhe tenang saja dan ndak usah terlalu memikirkan hal ini, urusan
pak lurah biar nanti biah yang selesaikan sendiri mbak yu...”
Mereka akhirnya menyerah, ketegaranku dan ucapanku telah
meyakinkan mereka bahwa aku memang berani mengambil keputusan serta tak akan lari
dari akibat dan konsekuensinya. Akupun tak mau, keluargaku ikut-ikutan menjadi
korban gara-gara masalahku. Aku akan selesaikan sendiri, tanpa harus
menyusahkan yang lain.
-----*
-----*-----
Kehidupanku di kampung berlanjut, aku bahkan semakin tak
peduli dengan tanggapan orang yang bermacam-macam tentangku dan keluargaku. Ada
yang mencela, ada yang memuji tak jarang juga yang memaki. Aku dianggap sok
suci, sok alim, orang miskin yang gak tau diri. Semua perkataan itu terlontar
dari mereka-mereka yang memang sebenarnya tidak suka denganku dan penampilanku
sekarang. Sejak ayahku meninggal, dan ketiga kakakku menikah, hanya ibulah yang
menjadi tulang punggung keluarga kami, ibu harus bekerja keras siang malam demi
aku dan adik kecilku zulfan. Akhirnya setelah lulus smp, kakak keduaku
memutuskan untuk membawa kami berdua ke kota hujan, bogor, kami dimasukannya ke
sebuah pesantren khusus anak-anak yatim, semua bukan tanpa alasan, semua demi
masa depanku dan juga adikku, serta mengurangi beban ibu yang memang sudah
semakin tua. Sebagai satu-satunya anak perempuan di rumah, aku sering malu
dengan ibu, semua pekerjaan rumah hampir ibu yang melakukan, tapi setelah aku
jauh di pesantren aku jadi semakin sadar, betapa beratnya perjuangan seorang
wanita itu, terlebih seorang ibu. Hampir lima tahun aku hidup di pesantren
hijau itu, kami lebih suka menyebutnya Ma’had Al-Yataama, sebelumnya aku memang
belajar di tingkatan setara SMP/SMAnya, di Pesantren Yatimat Al-Yataama, karena
aku sudah merasa nyaman di sana, aku putuskan untuk menyelesaikannya hingga
pendidikan tertinggi di sana, akhirnya aku lulus dengan predikat mumtazah,
ijazahku bahkan setara dengan diploma. Alhamdulillah....nikmat yang kurasa
begitu besar, karena tak semua orang Allah beri kesempatan itu, terlebih aku
yang benar-benar lahir dari keluarga dan lingkungan yang begitu asing dengan
nafas agama.
Adikku zulfan, bahkan sudah hampir rampung dengan 30 juz
al-qurannya. Dan Alhamdulillah, dengan izin Allah dan kerja kerasku, lima tahun
aku di sana dengan kesibukan lain yang ada di ma’had, akhirnya aku berhasil
selesai 30 juz, satu nikmat lagi yang benar-benar buatku tak ingin beranjak
dari pesantren hijauku itu.
Kini umurku telah menginjak
20 tahun, di akhir tugas pengabdianku selama setahun di mahad al-yataama
aku harus izin pulang kampung terlebih dulu, ibuku sakit, aku tak mungkin
bertahan terus di mahad, sebab ketiga kakak ku harus terus bekerja untuk
keluarga kecil mereka, akupun tak mungkin menyuruh zulfan untuk pulang dan
menemani ibu di rumah, akhirnya aku putuskan pulang, zulfanlah yang
mengantarku.
Orang kampung memang tak pernah tau aku sekolah atau mondok
di mana, mereka hanya tau kalo aku masuk ke yayasan yatim, bahkan setiap
lebaran saat aku pulangpun aku tak pernah ditanya soal yayasan tempat
belajarku, tapi kini berbeda, aku telah berbeda, aku bukanlah yang dulu lagi,
kata mereka aku telah berubah menjadi sosok yang serba tertutup, padahal aku selalu mencoba
menyapa mereka terlebih dulu, tapi nyatanya orang –orang yang memang tidak suka
selalu memprovokasi terlebih dulu, hingga kesannya aku yang selalu dianggap
tertutup bahkan sombong, aku pahami itu, mereka masih awam, aku mengerti itu
mereka belum faham, tetapi aku yakin dengan berlalunya waktu mereka akan
semakin mengerti dan memahami, siapa sebenarnya diriku, aku tak pernah berubah,
aku masih tetangga mereka saat seperti dulu, hanya aku kini terus belajar,
belajar memperbaiki diri baik dzahir maupun batinku.
Di sisi lain, aku tak memahami, kenapa baru satu bulan aku
di rumah, lima pemuda telah berani datang melamarku ke rumah....! aku semakin
heran, bukankah mereka sangat phobia dengan gadis misterius yang selalu tetutup
kain sepertiku....??? saat itulah aku mulai merasa kualitasku sebagai seorang
muslimah memang benar-benar sedang diuji, berikan hambaMu kekuatan Ya Rabb!!
----- ---- ---
“biah, pak lurah sedang di jalan mau ke sini, cepet
mendingan kamu sembunyi di mana, di rumah mbakyumu atau dimana, cepet
biah.....cepet!” pak dhe diryo yang masih ter engah-engah nafasnya langsung
menutup pintu rumah dan mengajakku masuk ke kamar ibu.
“ibumu biar pak dhe yang jaga...cepetan kamu lari biah,
nanti pak lurah keburu datang...” muka pak dhe makin terlihat khawatir, ia
kembali ke ruang tamu melihat dari belakang kain gorden apakah pak lurah sudah
terlihat sampai apa belum.
Aku hanya
diam, duduk di samping ibu yang sedang tertidur pulas.
Pak dhe yang balik lagi ke kamar makin kaget dan panik.
“biah......kamu nanti kenapa-napa, cepet lari....cepet...”
“pak dhe....ini masalah biah pak dhe, kenapa biah harus lari
dan bukan bertanggung jawab? Kenapa juga harus pak dhe yang di sini, nanti
malah pak dhe yang jadi sasaran pak lurah....biarlah pak dhe, biah yakin, pak
lurah tidak akan memukul perempuan pak dhe, biah yakin....”
“tapi biah, kalo ibumu tau nanti bagaimana?”
“pak dhe, cepat atau lambat ibu juga pasti akan
tau....mungkin ini sudah waktunya pak dhe, sudah saatnya biah tak
menutup-nutupinya di depan ibu...”
Pak dhe diryo tak kunjung hilang gelisahnya, ia tak tau lagi
harus memaksaku dengan apa supaya menuruti kata-katanya, akhirnya pak dhe
pasrah juga, saat itu juga pintu rumah kami terdengar di ketuk seseorang.
“assalaamu’alaikum........” to....tok....tok....
“wa’alaikumusslaam.....sebentar.....” pak dhe yang terlihat
ragu-ragu akhirnya memberanikan diri juga membukakan pintu untuk tamu itu.
“eh, pak lurah, silahkan masuk pak....silahkan.....”
Pak lurah sampai, aku masih di sisi ibu di kamarnya, pak dhe
terdengar berbasa-basi dengan pak lurah, higga menawarkan minum juga kepadanya.
“mohon maaf pak lurah, pasti ada urusan penting dengan biah
dan ibunya yah....” tanya pak dhe.
“iya, di mana mereka, kok kelihatannya sepi-sepi saja, apa
takut kalo saya datang bertamu?” duh, biacara pak lurah aja sudah mulai
provokatif kedengarannya.
“e..enggak kok pak lurah, mereka ada di kamar, se...sebentar
saya panggilkan yah....”
Pak lurah mengagguk, tapi mukanya masih memperlihatkan
keangkuhan dan ketidak nyamanan.
“biah, pak lurah datang....”
“sendirian pak dhe?tanyaku.
“sama asistennya.....”
“ya sudah, tunggu sebentar yah pak dhe, biah akan menemui
mereka...”
Aku mencoba menghilangkan segala gelisah dan takut yang
sedikit masih menggangguku, aku ambil wudhu untuk menenangkan tubuhku, lla haula
walaaquwwata illa billah, aku yakin Allah selalu dengan hambaNya yang sedang
dalam kesulitan. Tolong hambaMu ini Ya Alloh...
“itu biahnya pak lurah........” ucap pak dhe.
Aku singkap tirai merah itu, bismillah.....
Dua orang berbaju dinas duduk di depan pak dhe, mata meraka
langsung menuju ke arahku yang memang tertutup sempurna dari ujung hingga
ujung. Selintas aku melihat ke arah mereka, hanya wajah pak lurah yang ku
kenal, sedang asistennya itu aku rasa belum kenal. Aku duduk di kursi
belakang sofa mereka duduk, merekapun
sudah tau aku tak mungkin duduk bersama dan berhadapan langsung dengan mereka.
“biah, kenalkan, ini pak lurah....sama pak rasidi....asistennya...”
pak dhe menunjuk kedua orang itu, aku hanya mengangkat kepala dan mengangguk
kecil. tandanya aku mengiyakan untuk
mengenal mereka meski tanpa suara dan tatap muka.
“silahkan pak lurah, ini biahnya, silahkan langsung saja...”
pak dhe memulai.
“baik! Biah...tempo hari pak dhemu ini datang ke rumah saya,
menyampaikan keberatanmu untuk menerima lamaran putra sulungku, mahmud, apa
benar itu biah?!!!” pak lurah
tanpa basa-basi langsung saja menanyakan inti yang selama ini membuatnya risau
dan buat kami khawatir.
Sekuat
tenaga aku mencoba menenangkan diri, agar tak terlihat panic dan tetap tenang
menjawab pertanyaan pak lurah, akupun memulainya…
“betul pak lurah, memang saya yang minta pak dhe datang ke rumah pak lurah...”
jawabku.
“tapi, apa alasanmu begitu saja menolak lamaran anakku? Apa
dia kurang tampan bagimu?” nada bicara pak lurah makin terdengar serius.
“bukan pak lurah, bukan karena itu....” jawabku lagi.
“lantas apa?!! Coba jelaskan!!!” pak lurah makin terlihat memanas.
Aku terdiam sejenak, kulihat pak dhe hanya umet-umet, mungkin berdoa. Tapi wajahnya terlihat begitu khawatir.
“maaf sebelumnya pak lurah...maaf sebelumnya kalo saya
lancang karena sebagai orang yang lebih muda dari bapak, tapi saya mohon bapak
mau mendengarkan penjelasan saya, tanpa niat mau menggurui bapak atau sok tau
dari bapak atau merendahkan martabat bapak sebagai tokoh di kampung ini, maaf
sekali lagi pak....”
“tidak apa, bicaralah...!!” alhamdulillah, kata-kataku
berhasil.
“begini pak lurah, saya memang wanita, yang akan dipilh oleh
seorang laki-laki, tapi bukan berarti saya juga tidak berhak untuk memilih
antara menerima atau menolaknya pak, saya yakin kedua-duanya memang harus adil,
saya punyai hak itu juga pak, memilih atau menolak, dan ketika saya melihat
orang yang datang melamar saya ternyata saya merasa tidak cocok, maka sayapun
dengan niatan yang baik dan cara yang baik pula menolaknya pak, bukan masalah
tampan atau tidaknya, juga bukan kaya atau miskin, tapi ada yang lebih penting
bagi saya pak,.....yaitu soal kecocokan....”
Pak lurah diam sejenak, sepertinya ia mulai tau apa alasanku
menolak putranya.
“baiklah, masalah kecocokan ya?” pak lurah terlihat
mengangguk-anggukkan kepalanya serta berfikir.
“jadi, alasanmu menolak lamaran putraku karena putraku itu
tak pernah nyantri di pondok yah?”
Pertanyaan pak lurah terlalu universal, tapi aku coba
memahaminya dan menjawabnya.
“bukan seperti itu pak, pondok juga bukan jaminan seorang
anak akan menjadi baik pak, tanpa mondokpun siapa saja bisa mendapatkan ilmu
layaknya di pondok pak, semua itu tergantung niat dan usahanya pak....”
jelasku.
“lalu suami
seperti apa yang kamu inginkan biah?!” tanya pak lurah lagi.
“siapapun itu pak, saya hanya berharap seorang suami yang
mampu mendidik dan membimbing saya menjadi seorang istri yang taat kepadanya, bukankah
semua laki-laki bisa melakukan itu pak?”
Jawabku.
“memang bisa, tapi....tidak semua saya yakin bisa.....apalagi
dengan orang sepertimu biah...saya yakin tak semua laki-laki bisa, cocokpun
belum tentu....” pak lurah menimpalinya agak ketus.
Itulah jawabanku sebenarnya, ternyata telah dijawab sendiri
oleh pak lurah. Setelah itu aku hanya diam, aku yakin pak lurah sudah mengerti
maksudku, dan sudah memahami tentang prinsip yang aku pegang.
“biah....kok diem....” pak dhe tiba-tiba angkat biacara.
“sudah cukup....saya sudah tau jawabannya, sudah jelas. ”
ujar pak lurah saat itu juga.
Alhamdulillah, lega sekali rasanya. Pak lurah ternyata
orangnya terbuka juga, emosi yang dilayani dengan ketenangan, memang akan ikut
larut dan terbawa suasana, meski aku yakin, hati pak lurah sudah membara,tapi
karena sikapku yang mencoba terus membuatnya tak merasa di kecilkan, maka
dengan sendirinya amarah itu hilang, bahkan kini ia seakan menyerah sendiri
dengan keadaan, keadaan di mana putranya memang tak mungkin dipaksakan untuk
menikah denganku.
Pak lurah pulang kembali ke rumahnya, pak dhe yang sedari
tadi tegang kini terlihat begitu nyaman, tak ada lagi gelisah yang terlihat
meliputinya. Alhamdulillah.
------ ------ ------
“biah, mbakyu denger kemarin pak lurah ke sini ya?”
Mbak ningsih kali ini datang bersama faiz kecilnya, faiz
yang baru tiga tahun itu kini dipangkuanku, menikmati makan ciloknya yang di
beli saat menuju rumahku.
“iya mbak....” jawabku.
“kamu tu nekat ya biah, masa iya berani sama pak lurah.....” ucap mbak ningsih.
Aku tersenyum mendengar ucapan mbakyuku itu.
“gak papa mbakyu, pak lurah jugakan manusia kayak kita,
kenapa harus takut mbakyu....”
Mbakyu ningsih geleng-geleng, mungkin baru kali ini dia
menemukan gadis sekeras aku, keras pendirian dan kemauan.
“biah, tapi mbakyu jadi khawatir.....”
Aku terhenyak.
“khawatir kenapa mbakyu? Kan pak lurah sudah terima apa
adanya kemarin?”
“bukan itu maksud mbakyu biah.....maksud mbakyu, khawatir
sama kondisimu biah....”
“khawatir kenapa mbakyu? Biah kan baik-baik saja, gak perlu
ada yang dikhawatirin mbakyu....”
Mbakyu ningsih diam sejenak, kemudian ia berucap lagi...
“gini lho biah, mbakyu takut kalo kamu terus-terusan menolak
lamaran laki-laki yang datang, nanti justru ndak ada lagi yang mau datang
melamarmu biah, mbakyu cuman khawatir
aja kalo semua laki-laki di kampng kita malah takut kalo mau melamarmu lagi,
takut ditolak biah....” aku terhenyak dengar ucapan mbakyu itu, apa iya kalau
sering menolak lamaran maka laki-laki
lain akan takut melamar lagi karena takut ditolak?
“mbak yu.....biah yakin jodoh biah sudah ditentukan Allah
mbakyu, hanya saja waktunya yang belum tepat mbakyu, biah akan bersabar in sha
Allah mbakyu, sampai benar-benar jodoh yang Allah pilihkan datang.....”
“tapi biah....” mbakyu ningsih kini memegang tanganku. Ia
kemudian melanjutkan ucapannya.
“coba lihat ibumu, apa kamu tidak kasihan biah? Mungkin kalo
saja kamu cepet-cepet nikah, maka suamimu bisa membantu membiayai ibumu berobat
biah....”
mbakyu ningsih kembali membuatku sedih saat harus mendengar
kata ibu, memang ibulah yang kini buat kami terus merasa sedih, sedih karena
tak ada biaya untuk membawanya ke rumah sakit dan merawatnya di sana. Aku
terpekur dengan kata-kata mbakyuku, satu sisi aku harus memikirkan ibu, di sisi
lain aku juga tidak mungkin begitu saja menerima salah satu lamaran pemuda di
kampungku itu, memang mereka yang datang adalah orang-orang yang lumayan
berada, sudah pasti jika aku menikah dengan salah seorang diantara mereka, aku
akan bisa membawa ibu ke rumah sakit, meski harus meminjam dulu, tapi
setidaknya urusannya akan lebih mudah, tapi.....
“biah, siapa yang sebenarnya kamu tunggu itu? Laki-laki
mana? Cobalah ceritakan pada mbakyu...”
Mbakyu ningsih kembali memegang tanganku, layaknya anak
kecil yang sedang meminta uang jajan kepada ibunya, mbakyu ningsih terlihat
merayuku dengan memasang muka yang buatku tak tega untuk tidak menjawabnya.
“sebelum pulang, biah dipanggi oleh ustdzah biah ke kantor,
biah kira ada sesuatu hal yang ingin ustadzah omongkan tentang santriwati,
awalnya biah tidak berfikir apapun saat itu, sebab sudah biasa, tapi...ternyata
berbeda, kali ini ustadzah terlihat serius, ternyata beliau menawari biah untuk
menikah mbakyu....”
“yang bener
biah? Dengan siapa?” mbakyu makin penasaran.
“biah belum kenal orangnya, biah hanya tau biodatanya....”
aku masuk ke kamaraku dan menarik selembar kertas hvs itu dari lemari
pakaianku.
“ini biodatanya mbakyu....” mbakyu ningsih langsung
mengambil dan membacanya, setelah beberapa saat....
“loh...kampung
jatisari itu bukannya kampunganya bu dhe nunik biah?” mbakyu menatapku, sambil memikirkan apa benar
sangkaannya.
“bu dhe nunik? Siapa ya mbakyu? Biah sudah agak lupa mbak
yu....” aku memang agak lupa dengan bu dhe nunik, tapi sepertinya memang pernah
kenal dengannya.
“bu dhe nunik itu lho istrinya pak dhe jarwo, yang rumahnya
deket masjid nurul iman....”
“biah lupa mbakyu....bener-bener lupa, kan hampir lima tahun
biah jarang ke rumah mbak, jadi biah lupa mbakyu....” jawabku, aku memang aga
lupa dengan nama-nama warga kampungku, apalagi warga kampung sebelah, sudah
pasti lebih lupa lagi, mbakyuku memang asli kampung sebelah, jaraknya hanya setengah
jam perjalanan dengan angkot, kalo jalan kaki sekitar 45 menit.
“boleh mbakyu bawa gak biodatanya biah? Nanti mbakyu
tanyakan ke bu dhe nunik, siapa tahu dia tetangga dekatnya bu dhe...ya?”
“iya mbakyu....”aku tersenyum simpul, meski aku belum tau, apakah
memang betul laki-laki di biodata itu memang orang yang ada dikampung jatisari, atau hanya kebetulan saja nama
kampungnya sama, tapi aku optimis, sebab tak mungkin salah, kabupatennya masih
sama dengan kabupaten desaku, semoga saja memang benar. Aku bukan terlalu
berharap dengan pemilik biodata itu, tapi ustadzah qonita bilang, kalo dia
adalah salah satu santri yang baik di mahad al-yataama putra, aku juga yakin,
ustadzah qonita tak mungkin menjodohkanku dengan laki-laki sembarangan, karena
aku yakin, dia orang yang baik dan taat, maka akupun setuju saja dengan
tawarannya itu. Tapi hingga kini, pemilik biodata itu tak kunjung datang ke
rumahku, padahal alamatku dan biodataku juga sudah aku serahkan ke ustadzah,
tapi...entahlah, di mana dia sekarang.
_____ _____ _______dan….beberapa minggu kemudian…
BERSAMBUNG.........(Cerita tentang biah alias rabiyah al-dawiyah in sya Allah berlanjut, nantikan episode keduanya ya sobat muda.....)
UPDATE: Silahkan KLIK > CINTA SEORANG BIAH 2
@babameiza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar