CINTA SEORANG BIAH - Aljazary Qur'an I Berkhidmah Untuk Qur'an

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 21 Maret 2018

CINTA SEORANG BIAH




suatu hari....

“biah, apakah kamu akan terus menanti laki-laki impianmu itu? Apa kamu tidak memikirkan nasib ibumu biah?” sore itu, kembali beberapa kakak iparku berbondong-bondong mendatangi rumah dan menasehatiku untuk menerima salah satu lamaran pemuda di kampungku.
“biah belum menemukan yang cocok mbak yu...biah ndak mau terpaksa menikah mbak yu....” ucapku sejujurnya.
“calon suami seperti apa yang kamu inginkan biah? Bukankah anaknya pak komarudin juga baik, rajin sholat lagi....cocok sama kamu biah....!”
“mbak yu....biah tau itu mbak....tapi......”
“tapi kenapa biah?”
“tapi.....ada seseorang yang sedang biah tunggu mbak yu......”
Semua mata langsung tertuju kepadaku, terlihat begitu serius, entah itu tanda dari rasa kaget dan heran mereka, atau penasaran dengan siapa orang yang aku maksud itu.
“siapa dia biah, cepat katakan.....biar mbakyumu ini langsung hubungi keluarganya...”
Aku terdiam, pertanyaan mbakyu kembali lagi terulang, bahkan hingga tiga kali, namun tak ada respon dariku.
“biah.....kamu jangan bikin mbakyumu bingung begini...nanti kalo mas-masmu nelpon dan nanya lagi kami juga bingung harus jawab apa biah.....biah....” mbakyu ningsih menepuk tanganku, meski aku tau dan memang sadar benar apa pertanyaan mbakyuku, tapi aku masih diam.
“biah....”
Tiba-tiba suara ibu dari kamar terdengar memanggil namaku.....
”terima kasih ibu, engkau telah menyelamatkanku kali ini,” ujarku dalam hati. Meski aku lihat ada raut-raut kekecewaan di ketiga wajah mbakyu iparku itu.
“iya bu.....” aku langsung meninggalkan ketiga mbakyuku menuju ibu....
Aku tersenyum, seperti biasanya, jam sembilan pagi ibu memang selalu minta di lap tubuhnya dengan air hangat, sebab terasa lengket kata ibu kalo sehari saja tubuhnya gak di lap, sebagai ganti mandinya.
“iya bu...sebentar ya biah ambilin air hangatnya dulu...” ucapku.
“tidak usah biah...” langkahku terhenti, ibu tidak mau di lap badannya pagi ini? Aku agak kaget....
“kenapa bu? Bukannya ibu mau di lap badannya biar segeran bu?”
“nanti saja nak, sini duduk sebentar .....”
Ibu kali ini tidak mau di lap, tapi dari raut mukanya ibu seakan ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
“iya bu....” aku lantas duduk di samping kanan ranjang ibu. Aku pegang tangannya yang mulai keriput dan tak terisi daging lagi itu.
“biah....ibu tau, mbakyu-mbakyumu pasti sedang menanyakanmu soal lamaran-lamaran pemuda kampung sini kan?”
Ibu, mana mungkin aku akan menjawab bahwa aku menolak semua yang melamarku kepadamu? Sedang  saat melihat raut sayumu itu aku tak sanggup berkata sepatah katapun kecuali aku takut itu akan memperparah kondisimu bu...!?
“ibu......biah masih butuh waktu untuk memutuskan semuanya bu, biah masih ragu untuk memilihnya bu....” aku takut kata-kataku membuat semakin berat beban di hati ibu, tapi aku bingung harus menjawab apa, hingga tak kusadari kata-kata itu keluar seiring dengan tetesan air mataku.
“biah......ibu mengerti nak, ibu mengerti....sudahlah biah....ibu tak akan memaksamu untuk secepatnya mengambil keputusan itu, ibupun tak akan memaksamu harus mau menerima lamaran salah satu diantara mereka yang melamarmu, sebab keputusan itu ada padamu biah, ibu akan ikuti apa keputusanmu nak.....jangan khawatirkan ibu...”
“tapi bu......”
”biah.....menikah itu hal yang mulia nak, ibu tak ingin kemuliaan itu retak bahkan hancur hanya karena kalian berdua tak memiliki rasa saling menerima nak.....menikah itu harus dengan keikhlasan kedua belah pihak nak.....”
“ibu.......” aku peluk tubuh lemah nan sayu itu, ada kehangatan yang menyeruak meliputi kebekuan hatiku, meski raganya begitu rapuh, tapi jiwa bijak nan mulianya tak pernah redup, bahkan makin bersinar saat raganya mulai layu.
---------- ---- ------
“ANAK SIAPA MEMANGNYA DIA..!, BERANI SEKALI MENOLAK LAMARAN PUTRA SULUNGKU!!!”  kemarahan lurah murad meluap-luap saat lamaran putranya aku tolak. Aku sengaja menitipkan pesan kepada pak dhe diryo untuk menyampaikan permohonan maafku dan keluargaku karena tak bisa menerima lamaran putranya, mahmud.
“heh diryo....apa keluarga si biah itu mau macem-macem dengan saya!!!” gertak pak lurah.
“maaf pak lurah,,,saya kesini Cuma nyampein pesen keluarga biah saja pak, kalo masalah yang lain saya kurang tau, maaf pak lurah....” jawab pak dhe diryo.
“ah....sama saja kamu dengan mereka, pokoknya....saya tidak terima dipermalukan seperti ini. Tunggu saja nanti biah.......!!!!”
Pak dhe diryo yang langsung datang ke rumahku lantas menceritakan semua kejadian saat di rumah pak lurah murad, tapi aku sengaja tidak mempersilahkannya masuk kedalam rumah, takut ibu mendengar, aku dan mbakyu-mbakyuku hanya ngobrol di teras rumah dan tanpa meninggikan suara, meski kadang mbakyuku ada yang menjerit saat denger kalo pak lurah mau bikin balasan karena merasa dipermalukan oleh keluargaku karena aku telah menolak lamarannya.
“duh biah....mbakyu jadi khawatir kalo pak lurah sudah marah....mbakyu khawatir keluarga kita nanti diapa-apain biah.....” ujar mbak lastri.
“iya biah, pak lurahkan orangnya tegaan, pasti bakalan nglakuin apa aja kalo sudah kepalang marah biah....”tambah mbak ningsih.
“mbakyu.....keputusan ini biah yang ambil, jadi mbakyu ndak usah pada khawatir mbakyu, biah yakin, pak lurah pasti tau kalo yang membuat keputusan adalah biah, dan tak ada sangkut pautnya dengan mbakyu atau keluarga biah yang lain, biah yakin sekali mbakyu.....”
“tapi biah, bagaimanapun kalo orang sudah marah apalagi sampe sumpah serapah begitu, apapun pasti bakal dilakuin biah....” mbakyu ningsih kali ini terlihat yang paling kuatir, sebab suaminya mas ahmad (kakaku yang kedua) sedang ikut proyek milik pak lurah di sumatera, ia pasti khawatir kalo malah mas ahmad yang nanti kenapa-napa.
“mbakyu....biah yang akan tanggung jawab semuanya mbak, mbakyu dan pak dhe tenang saja dan ndak usah terlalu memikirkan hal ini, urusan pak lurah biar nanti biah yang selesaikan sendiri  mbak yu...”
Mereka akhirnya menyerah, ketegaranku dan ucapanku telah meyakinkan mereka bahwa aku memang berani mengambil keputusan serta tak akan lari dari akibat dan konsekuensinya. Akupun tak mau, keluargaku ikut-ikutan menjadi korban gara-gara masalahku. Aku akan selesaikan sendiri, tanpa harus menyusahkan yang lain.
-----* -----*-----
Kehidupanku di kampung berlanjut, aku bahkan semakin tak peduli dengan tanggapan orang yang bermacam-macam tentangku dan keluargaku. Ada yang mencela, ada yang memuji tak jarang juga yang memaki. Aku dianggap sok suci, sok alim, orang miskin yang gak tau diri. Semua perkataan itu terlontar dari mereka-mereka yang memang sebenarnya tidak suka denganku dan penampilanku sekarang. Sejak ayahku meninggal, dan ketiga kakakku menikah, hanya ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga kami, ibu harus bekerja keras siang malam demi aku dan adik kecilku zulfan. Akhirnya setelah lulus smp, kakak keduaku memutuskan untuk membawa kami berdua ke kota hujan, bogor, kami dimasukannya ke sebuah pesantren khusus anak-anak yatim, semua bukan tanpa alasan, semua demi masa depanku dan juga adikku, serta mengurangi beban ibu yang memang sudah semakin tua. Sebagai satu-satunya anak perempuan di rumah, aku sering malu dengan ibu, semua pekerjaan rumah hampir ibu yang melakukan, tapi setelah aku jauh di pesantren aku jadi semakin sadar, betapa beratnya perjuangan seorang wanita itu, terlebih seorang ibu. Hampir lima tahun aku hidup di pesantren hijau itu, kami lebih suka menyebutnya Ma’had Al-Yataama, sebelumnya aku memang belajar di tingkatan setara SMP/SMAnya, di Pesantren Yatimat Al-Yataama, karena aku sudah merasa nyaman di sana, aku putuskan untuk menyelesaikannya hingga pendidikan tertinggi di sana, akhirnya aku lulus dengan predikat mumtazah, ijazahku bahkan setara dengan diploma. Alhamdulillah....nikmat yang kurasa begitu besar, karena tak semua orang Allah beri kesempatan itu, terlebih aku yang benar-benar lahir dari keluarga dan lingkungan yang begitu asing dengan nafas agama.
Adikku zulfan, bahkan sudah hampir rampung dengan 30 juz al-qurannya. Dan Alhamdulillah, dengan izin Allah dan kerja kerasku, lima tahun aku di sana dengan kesibukan lain yang ada di ma’had, akhirnya aku berhasil selesai 30 juz, satu nikmat lagi yang benar-benar buatku tak ingin beranjak dari pesantren hijauku itu.
Kini umurku telah menginjak  20 tahun, di akhir tugas pengabdianku selama setahun di mahad al-yataama aku harus izin pulang kampung terlebih dulu, ibuku sakit, aku tak mungkin bertahan terus di mahad, sebab ketiga kakak ku harus terus bekerja untuk keluarga kecil mereka, akupun tak mungkin menyuruh zulfan untuk pulang dan menemani ibu di rumah, akhirnya aku putuskan pulang, zulfanlah yang mengantarku.
Orang kampung memang tak pernah tau aku sekolah atau mondok di mana, mereka hanya tau kalo aku masuk ke yayasan yatim, bahkan setiap lebaran saat aku pulangpun aku tak pernah ditanya soal yayasan tempat belajarku, tapi kini berbeda, aku telah berbeda, aku bukanlah yang dulu lagi, kata mereka aku telah berubah menjadi sosok yang  serba tertutup, padahal aku selalu mencoba menyapa mereka terlebih dulu, tapi nyatanya orang –orang yang memang tidak suka selalu memprovokasi terlebih dulu, hingga kesannya aku yang selalu dianggap tertutup bahkan sombong, aku pahami itu, mereka masih awam, aku mengerti itu mereka belum faham, tetapi aku yakin dengan berlalunya waktu mereka akan semakin mengerti dan memahami, siapa sebenarnya diriku, aku tak pernah berubah, aku masih tetangga mereka saat seperti dulu, hanya aku kini terus belajar, belajar memperbaiki diri baik dzahir maupun batinku.
Di sisi lain, aku tak memahami, kenapa baru satu bulan aku di rumah, lima pemuda telah berani datang melamarku ke rumah....! aku semakin heran, bukankah mereka sangat phobia dengan gadis misterius yang selalu tetutup kain sepertiku....??? saat itulah aku mulai merasa kualitasku sebagai seorang muslimah memang benar-benar sedang diuji, berikan hambaMu kekuatan Ya Rabb!!
----- ---- ---
“biah, pak lurah sedang di jalan mau ke sini, cepet mendingan kamu sembunyi di mana, di rumah mbakyumu atau dimana, cepet biah.....cepet!” pak dhe diryo yang masih ter engah-engah nafasnya langsung menutup pintu rumah dan mengajakku masuk ke kamar ibu.
“ibumu biar pak dhe yang jaga...cepetan kamu lari biah, nanti pak lurah keburu datang...” muka pak dhe makin terlihat khawatir, ia kembali ke ruang tamu melihat dari belakang kain gorden apakah pak lurah sudah terlihat sampai apa belum.
Aku hanya diam, duduk di samping ibu yang sedang tertidur pulas.
Pak dhe yang balik lagi ke kamar makin kaget dan panik.
“biah......kamu nanti kenapa-napa, cepet lari....cepet...”
“pak dhe....ini masalah biah pak dhe, kenapa biah harus lari dan bukan bertanggung jawab? Kenapa juga harus pak dhe yang di sini, nanti malah pak dhe yang jadi sasaran pak lurah....biarlah pak dhe, biah yakin, pak lurah tidak akan memukul perempuan pak dhe, biah yakin....”
“tapi biah, kalo ibumu tau nanti bagaimana?”
“pak dhe, cepat atau lambat ibu juga pasti akan tau....mungkin ini sudah waktunya pak dhe, sudah saatnya biah tak menutup-nutupinya di depan ibu...”
Pak dhe diryo tak kunjung hilang gelisahnya, ia tak tau lagi harus memaksaku dengan apa supaya menuruti kata-katanya, akhirnya pak dhe pasrah juga, saat itu juga pintu rumah kami terdengar di ketuk seseorang.
“assalaamu’alaikum........” to....tok....tok....
“wa’alaikumusslaam.....sebentar.....” pak dhe yang terlihat ragu-ragu akhirnya memberanikan diri juga membukakan pintu untuk tamu itu.
“eh, pak lurah, silahkan masuk pak....silahkan.....”
Pak lurah sampai, aku masih di sisi ibu di kamarnya, pak dhe terdengar berbasa-basi dengan pak lurah, higga menawarkan minum juga kepadanya.
“mohon maaf pak lurah, pasti ada urusan penting dengan biah dan ibunya yah....” tanya pak dhe.
“iya, di mana mereka, kok kelihatannya sepi-sepi saja, apa takut kalo saya datang bertamu?” duh, biacara pak lurah aja sudah mulai provokatif kedengarannya.
“e..enggak kok pak lurah, mereka ada di kamar, se...sebentar saya panggilkan yah....”
Pak lurah mengagguk, tapi mukanya masih memperlihatkan keangkuhan dan ketidak nyamanan.
“biah, pak lurah datang....”
“sendirian pak dhe?tanyaku.
“sama asistennya.....”
“ya sudah, tunggu sebentar yah pak dhe, biah akan menemui mereka...”
Aku mencoba menghilangkan segala gelisah dan takut yang sedikit masih menggangguku, aku ambil wudhu untuk menenangkan tubuhku, lla haula walaaquwwata illa billah, aku yakin Allah selalu dengan hambaNya yang sedang dalam kesulitan. Tolong hambaMu ini Ya Alloh...
“itu biahnya pak lurah........” ucap pak dhe.
Aku singkap tirai merah itu, bismillah.....
Dua orang berbaju dinas duduk di depan pak dhe, mata meraka langsung menuju ke arahku yang memang tertutup sempurna dari ujung hingga ujung. Selintas aku melihat ke arah mereka, hanya wajah pak lurah yang ku kenal, sedang asistennya itu aku rasa belum kenal. Aku duduk di kursi belakang  sofa mereka duduk, merekapun sudah tau aku tak mungkin duduk bersama dan berhadapan langsung dengan mereka.
“biah, kenalkan, ini pak lurah....sama pak rasidi....asistennya...” pak dhe menunjuk kedua orang itu, aku hanya mengangkat kepala dan mengangguk kecil.  tandanya aku mengiyakan untuk mengenal mereka meski tanpa suara dan tatap muka.
“silahkan pak lurah, ini biahnya, silahkan langsung saja...” pak dhe memulai.
“baik! Biah...tempo hari pak dhemu ini datang ke rumah saya, menyampaikan keberatanmu untuk menerima lamaran putra sulungku, mahmud, apa benar itu biah?!!!” pak lurah tanpa basa-basi langsung saja menanyakan inti yang selama ini membuatnya risau dan buat kami khawatir.
Sekuat tenaga aku mencoba menenangkan diri, agar tak terlihat panic dan tetap tenang menjawab pertanyaan pak lurah, akupun memulainya…
“betul pak lurah, memang saya yang minta pak dhe datang ke rumah pak lurah...” jawabku.
“tapi, apa alasanmu begitu saja menolak lamaran anakku? Apa dia kurang tampan bagimu?” nada bicara pak lurah makin terdengar serius.
“bukan pak lurah, bukan karena itu....” jawabku lagi.
“lantas apa?!! Coba jelaskan!!!” pak lurah makin terlihat memanas.
Aku terdiam sejenak, kulihat pak dhe hanya umet-umet, mungkin berdoa. Tapi wajahnya terlihat begitu khawatir.
“maaf sebelumnya pak lurah...maaf sebelumnya kalo saya lancang karena sebagai orang yang lebih muda dari bapak, tapi saya mohon bapak mau mendengarkan penjelasan saya, tanpa niat mau menggurui bapak atau sok tau dari bapak atau merendahkan martabat bapak sebagai tokoh di kampung ini, maaf sekali lagi pak....”
“tidak apa, bicaralah...!!” alhamdulillah, kata-kataku berhasil.
“begini pak lurah, saya memang wanita, yang akan dipilh oleh seorang laki-laki, tapi bukan berarti saya juga tidak berhak untuk memilih antara menerima atau menolaknya pak, saya yakin kedua-duanya memang harus adil, saya punyai hak itu juga pak, memilih atau menolak, dan ketika saya melihat orang yang datang melamar saya ternyata saya merasa tidak cocok, maka sayapun dengan niatan yang baik dan cara yang baik pula menolaknya pak, bukan masalah tampan atau tidaknya, juga bukan kaya atau miskin, tapi ada yang lebih penting bagi saya pak,.....yaitu soal kecocokan....”
Pak lurah diam sejenak, sepertinya ia mulai tau apa alasanku menolak putranya.
“baiklah, masalah kecocokan ya?” pak lurah terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya serta berfikir.
“jadi, alasanmu menolak lamaran putraku karena putraku itu tak pernah nyantri di pondok yah?”
Pertanyaan pak lurah terlalu universal, tapi aku coba memahaminya dan menjawabnya.
“bukan seperti itu pak, pondok juga bukan jaminan seorang anak akan menjadi baik pak, tanpa mondokpun siapa saja bisa mendapatkan ilmu layaknya di pondok pak, semua itu tergantung niat dan usahanya pak....” jelasku.
“lalu suami seperti apa yang kamu inginkan biah?!” tanya pak lurah lagi.
“siapapun itu pak, saya hanya berharap seorang suami yang mampu mendidik dan membimbing saya menjadi seorang istri yang taat kepadanya, bukankah semua laki-laki bisa melakukan itu pak?”
Jawabku.
“memang bisa, tapi....tidak semua saya yakin bisa.....apalagi dengan orang sepertimu biah...saya yakin tak semua laki-laki bisa, cocokpun belum tentu....” pak lurah menimpalinya agak ketus.
Itulah jawabanku sebenarnya, ternyata telah dijawab sendiri oleh pak lurah. Setelah itu aku hanya diam, aku yakin pak lurah sudah mengerti maksudku, dan sudah memahami tentang prinsip yang aku pegang.
“biah....kok diem....” pak dhe tiba-tiba angkat biacara.
“sudah cukup....saya sudah tau jawabannya, sudah jelas. ” ujar pak lurah saat itu juga.
Alhamdulillah, lega sekali rasanya. Pak lurah ternyata orangnya terbuka juga, emosi yang dilayani dengan ketenangan, memang akan ikut larut dan terbawa suasana, meski aku yakin, hati pak lurah sudah membara,tapi karena sikapku yang mencoba terus membuatnya tak merasa di kecilkan, maka dengan sendirinya amarah itu hilang, bahkan kini ia seakan menyerah sendiri dengan keadaan, keadaan di mana putranya memang tak mungkin dipaksakan untuk menikah denganku.
Pak lurah pulang kembali ke rumahnya, pak dhe yang sedari tadi tegang kini terlihat begitu nyaman, tak ada lagi gelisah yang terlihat meliputinya. Alhamdulillah.
------ ------ ------
“biah, mbakyu denger kemarin pak lurah ke sini ya?”
Mbak ningsih kali ini datang bersama faiz kecilnya, faiz yang baru tiga tahun itu kini dipangkuanku, menikmati makan ciloknya yang di beli saat menuju rumahku.
“iya mbak....” jawabku.
“kamu tu nekat ya biah, masa iya berani sama pak lurah.....” ucap mbak ningsih.
Aku tersenyum mendengar ucapan mbakyuku itu.
“gak papa mbakyu, pak lurah jugakan manusia kayak kita, kenapa harus takut mbakyu....”
Mbakyu ningsih geleng-geleng, mungkin baru kali ini dia menemukan gadis sekeras aku, keras pendirian dan kemauan.
“biah, tapi mbakyu jadi khawatir.....”
Aku terhenyak.
“khawatir kenapa mbakyu? Kan pak lurah sudah terima apa adanya kemarin?”
“bukan itu maksud mbakyu biah.....maksud mbakyu, khawatir sama kondisimu biah....”
“khawatir kenapa mbakyu? Biah kan baik-baik saja, gak perlu ada yang dikhawatirin mbakyu....”
Mbakyu ningsih diam sejenak, kemudian ia berucap lagi...
“gini lho biah, mbakyu takut kalo kamu terus-terusan menolak lamaran laki-laki yang datang, nanti justru ndak ada lagi yang mau datang melamarmu biah,  mbakyu cuman khawatir aja kalo semua laki-laki di kampng kita malah takut kalo mau melamarmu lagi, takut ditolak biah....” aku terhenyak dengar ucapan mbakyu itu, apa iya kalau sering menolak lamaran maka laki-laki lain akan takut melamar lagi karena takut ditolak?
“mbak yu.....biah yakin jodoh biah sudah ditentukan Allah mbakyu, hanya saja waktunya yang belum tepat mbakyu, biah akan bersabar in sha Allah mbakyu, sampai benar-benar jodoh yang Allah pilihkan datang.....”
“tapi biah....” mbakyu ningsih kini memegang tanganku. Ia kemudian melanjutkan ucapannya.
“coba lihat ibumu, apa kamu tidak kasihan biah? Mungkin kalo saja kamu cepet-cepet nikah, maka suamimu bisa membantu membiayai ibumu berobat biah....”
mbakyu ningsih kembali membuatku sedih saat harus mendengar kata ibu, memang ibulah yang kini buat kami terus merasa sedih, sedih karena tak ada biaya untuk membawanya ke rumah sakit dan merawatnya di sana. Aku terpekur dengan kata-kata mbakyuku, satu sisi aku harus memikirkan ibu, di sisi lain aku juga tidak mungkin begitu saja menerima salah satu lamaran pemuda di kampungku itu, memang mereka yang datang adalah orang-orang yang lumayan berada, sudah pasti jika aku menikah dengan salah seorang diantara mereka, aku akan bisa membawa ibu ke rumah sakit, meski harus meminjam dulu, tapi setidaknya urusannya akan lebih mudah, tapi.....
“biah, siapa yang sebenarnya kamu tunggu itu? Laki-laki mana? Cobalah ceritakan pada mbakyu...”
Mbakyu ningsih kembali memegang tanganku, layaknya anak kecil yang sedang meminta uang jajan kepada ibunya, mbakyu ningsih terlihat merayuku dengan memasang muka yang buatku tak tega untuk tidak menjawabnya.
“sebelum pulang, biah dipanggi oleh ustdzah biah ke kantor, biah kira ada sesuatu hal yang ingin ustadzah omongkan tentang santriwati, awalnya biah tidak berfikir apapun saat itu, sebab sudah biasa, tapi...ternyata berbeda, kali ini ustadzah terlihat serius, ternyata beliau menawari biah untuk menikah mbakyu....”
yang bener biah? Dengan siapa?” mbakyu makin penasaran.
“biah belum kenal orangnya, biah hanya tau biodatanya....” aku masuk ke kamaraku dan menarik selembar kertas hvs itu dari lemari pakaianku.
“ini biodatanya mbakyu....” mbakyu ningsih langsung mengambil dan membacanya, setelah beberapa saat....
“loh...kampung  jatisari itu bukannya kampunganya bu dhe nunik biah?”  mbakyu menatapku, sambil memikirkan apa benar sangkaannya.
“bu dhe nunik? Siapa ya mbakyu? Biah sudah agak lupa mbak yu....” aku memang agak lupa dengan bu dhe nunik, tapi sepertinya memang pernah kenal dengannya.
“bu dhe nunik itu lho istrinya pak dhe jarwo, yang rumahnya deket masjid nurul iman....”
“biah lupa mbakyu....bener-bener lupa, kan hampir lima tahun biah jarang ke rumah mbak, jadi biah lupa mbakyu....” jawabku, aku memang aga lupa dengan nama-nama warga kampungku, apalagi warga kampung sebelah, sudah pasti lebih lupa lagi, mbakyuku memang asli kampung sebelah, jaraknya hanya setengah jam perjalanan dengan angkot, kalo jalan kaki sekitar 45 menit.
“boleh mbakyu bawa gak biodatanya biah? Nanti mbakyu tanyakan ke bu dhe nunik, siapa tahu dia tetangga dekatnya bu dhe...ya?”
“iya mbakyu....”aku tersenyum simpul, meski aku belum tau, apakah memang betul laki-laki di biodata itu memang orang yang ada dikampung  jatisari, atau hanya kebetulan saja nama kampungnya sama, tapi aku optimis, sebab tak mungkin salah, kabupatennya masih sama dengan kabupaten desaku, semoga saja memang benar. Aku bukan terlalu berharap dengan pemilik biodata itu, tapi ustadzah qonita bilang, kalo dia adalah salah satu santri yang baik di mahad al-yataama putra, aku juga yakin, ustadzah qonita tak mungkin menjodohkanku dengan laki-laki sembarangan, karena aku yakin, dia orang yang baik dan taat, maka akupun setuju saja dengan tawarannya itu. Tapi hingga kini, pemilik biodata itu tak kunjung datang ke rumahku, padahal alamatku dan biodataku juga sudah aku serahkan ke ustadzah, tapi...entahlah, di mana dia sekarang.
_____ _____ _______dan….beberapa minggu kemudian…

BERSAMBUNG.........(Cerita tentang biah alias rabiyah al-dawiyah in sya Allah berlanjut, nantikan episode keduanya ya sobat muda.....)

UPDATE: Silahkan KLIK > CINTA SEORANG BIAH 2

@babameiza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman