Islam menetapkan beberapa kriteria syar’i
pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi
harga diri dan kesuciannya. Kriteria syar’i itu juga berfungsi untuk mencegah
perzinahan dan sebagai tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Di
antaranya, Islam mengharamkan ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan
dalam satu tempat-ed) dan khalwat (berduaan antara laki-laki dan
perempuan-ed), memerintahkan adanya sutrah (pembatas) yang syar’i
dan menundukkan pandangan, meminimalisir pembicaraan dengan lawan jenis sesuai
dengan kebutuhan, tidak memerdukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap
dengan mereka, dan keriteria lainnya. Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang
penting untuk kebaikan semuanya. Tidak seperti ocehan para penyeru ikhtilath,
sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu
kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan
kenyataan dan realita.
Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya, bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan. Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab terjadinya banyak kerusakan dan keburukan.
Wajib berhati-hati, karena syetan terkadang
menipu seseorang dengan merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan
percakapan itu. Padahal dia sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada
di atas jalan kesesatan. Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang
menentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan melanggar
larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan.
Tentang
masalah ikhtilath ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy rahimahullahu
menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara
laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:
Pertama:
Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram (yang haram untuk
dinikahi-ed) mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua:
Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram/yang halal untuk
dinikahi-ed) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas
keharamannya.
Ketiga:
Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran
ilmu, di toko, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath
yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di
antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath
semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.'
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara syetan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar'i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah, diantaranya adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
'Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya
menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu
seraya berkata, 'Marilah ke sini.' Yusuf berkata, 'Aku berlindung kepada Allah,
sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.' Sesungguhnya orang-orang
zalim tidak akan beruntung. (QS.Yusuf: 23)
Ketika
terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar
Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya.
Ia meminta kepada Nabi Yusuf 'alaihissalam untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah
Subhanahu wa Ta'ala melindungi Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari
perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
'Maka
Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya
mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.' (QS.Yusuf:
34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masing tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masing tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
Oleh karena itu, Barangsiapa yang tidak
memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka menjauhinya lebih
baik dan selamat. Jika ada kebutuhan, wajib bagi semua kaum muslimin untuk
menetapi ketentuan syar’i, di antaranya:
1. Ghadlul Bashar (menundukkan pandangan), bukan bermaksud menutup atau memejamkan mata hingga tidak dapat melihat sama sekali atau menundukkan kepala ke tanah saja, karena bukan ini yang dimaksudkan, di samping ia tidak mampu dilaksanakan. Tetapi yang dimaksud adalah menjaganya dan tidak membiarkannya menjadi liar. Pandangan yang terpelihara adalah apabila seseorang memandang sesuatu yang haram (aurat orang lain) lalu ia tidak mengamati kecantikan yang dipandangnya dan tidak berlama-lama. Dengan kata lain menahan dari apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasul-Nya untuk kita memandangnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nuur: 30)
2. Tidak berduaan dengan wanita asing (bukan mahram dan bukan istrinya).
Dalam Shahihul Bukhari, dari Ibnu Abbas radliyallah ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali dia (wanita tadi) ditemani mahramnya.” (HR. Al- Bukhari)
3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan
gadis yang bisa menyebabkan fitnah.
Dari Abu Sa’id bin Musayyib’d al-Khudri radliyallah ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari Abu Sa’id bin Musayyib’d al-Khudri radliyallah ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan indah.
Allah menjadikan kalian berkuasa atasnya, untuk melihat apa yang kalian
perbuat. Bertakwalah terhadap dunia dan wanita.” (HR. Muslim).
Dalam Shahihain, dari Usamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidak lah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”
4. Tidak bersalaman dengan wanita yang
bukan mahram, karena diharamkan.
Dalam Al-Mu’jam Al-Kabir milik Imam
Ath-Thabrani, dari Ma’qil bin Yasar berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian
ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita
yang tidak halal baginya.”
5. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan beberapa adab yang agung kepada para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan segenap wanita umat ini masuk di dalamnya.
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.”(QS. Al-Ahzab: 32)
Dalam ayat itu, Allah Ta’ala mengabarkan
bahwa hati yang sakit tidak bisa bertahan dan bersabar diri dari sebab kecil
yang mengundang keharaman, walau hanya suara yang halus dan lembut. Karena
sudah menjadi sarana keharaman maka dilarang, mereka diwajibkan untuk tidak
melembutkan perkataan ketika berbicara dengan laki-laki. Karena sarana memiliki
hukum seperti tujuan.
*Tulisan Syaikh Khalid Abdul Mun'im Rifa'I –dengan sedikit tambahan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar