Mbah sumini telah mengeluarkan segenap
kemampuannya sebagai seorang dukun bayi yang telah berpengalaman, mencoba
mengatasi pendarahan yang dialami sumirah. Tapi nihil, Menjelang pagi hari
kondisi sumirah makin mengkhawatirkan, pendarahannya tak berhenti, semua ajian
yang mbah sumini punya sudah ia keluarkan, tapi usahanya sia-sia.
Menjelang subuh pak lurah sudah datang dengan
L300nya bersama mas pur yang sedari jam tiga sudah menuju rumah pak lurah.
Sekitar jam lima sumirah dibawa ke kota menuju
RS dengan kawalan mbah sumini dan suami tercinta, mbah dalem.
Karena kondisi sumirah yang telah banyak
mengeluarkan darah dari sore kemarin, dan perjalanan yang tidak mudah karena
jalanan masih gelap dan tak ada penerangan, mobil pak lurah tidak bisa lebih
cepat dari 50 km/jam.
“pak cepet sedikit pak lurah, kasihan istri
saya pak.....” mbah dalem mengeluh dengan kondisinya, kenapa kebahagiaannya
harus tertunda? Kenapa tak ada satupun bidan yang ada di kampungnya?kenapa
....kenapa...dan, kenapa?
Tepat pukul tujuh pagi mereka sampai di
jalanan kota, rumah sakit setengah jam lagi baru sampai. Terlihat mbah sumini
dari tadi komat-kamit entah apa yang ia baca, kemudian berkali-kali ia usapkan
pada wajah sumirah.
Sumirah terlihat sangat tersiksa, kondisinya makin kritis,
pendarahannya belum juga berhenti.....mbah dalem memeluk sumirah erat-erat, air
mata tanda kepedihanya mulai menetes...hatinya mulai luluh saat merasakan
sumirah makin lama semakin melemah....bahkan genggaman tangannya mulai terlepas
dari tangannya....nafas sumirah mulai melemah....suara kesakitannya mulai
jarang terdengar, dan denyut jantungnya juga mbah dalem rasakan semakin dalam
tak terasa.....
“sum...sumirah...sum....bangun sum.....sum........bangun...rumah
sakit sudah dekat, sebentar lagi sum....sebentar lagi kita
sampai.....sum.......” mbah dalem memeluk sumirah erat-erat.....tangisnya
pecah....air matanya mengalir deras, hatinya begitu hancur, perasaannya begitu
tertindas....jiwanya begitu tergoncang.....sumirah pergi.....sumirah telah
pergi....sumirah meninggalkan mbah dalem...Meninggalkan anaknya yang baru
sehari lahir......mbah dalem baru semalam merasakan betapa sempurnanya menjadi
seorang ayah....tapi kini harus kembali merasakan pedih...betapa sakit dan sesaknya
ditinggal kekasih hati yang telah begitu setia dan sabar menanti berpuluh tahun
kedatangan buah hati.
“sum....siapa yang akan menyusui anak kita,
siapa yang akan memandikan anak kita....sum...bangun sum....lebih baik aku yang
pergi sum, jangan pergi sum...kasihan anak kita sum.......” kembali tangis mbah
dalem pecah yang bertepatan dengan sampainya mobil ke depan rumah
sakit....terlambat, sumirah telah pergi...dan meninggalkan berjuta perasaan
sedih di hati mbah dalem.......sumirah....
***
Sejak saat itulah mbah dalem kembali hidup
hanya berdua dengan anaknya, munawir kecil. Munawir disusui istri mas pur, mbak
neng. Mbah dalem begitu bahagia saat melihat senyum munawir kecil, wajahnya
begitu sempurna mewarisi kecantikan ibunya sumirah, sumirah adalah salah satu
kembang desa di jatiwaru, entah mengapa sumirah bisa jatuh cinta dan mau
menikah dengan mbah dalem padahal dia laki-laki biasa dengan status yang biasa
sebagai buruh pada saat itu.
Tapi hari-hari mbah dalem terasa makin kering
tanpa kehadiran belahan jiwanya, sumirah. Ia jadi banyak melamun dan merenung. Kehilangan
orang tercinta memang begitu berat bagi jiwa, seakan lebih baik ia yang pergi
jika harus ditinggal sang pujaan hati, sebab rasanya begitu sesak dan
menyakitkan hati. Cinta dan masa telah menyatukan mereka, tak peduli apa yang
ia rasa sekarang, asalkan cinta masih menyatukan mereka, sengsara berduapun
terasa begitu indah bagi para pecandu madu cinta.
Mbah dalem mulai tertutup. Bahkan ia mulai tak
semangat dalam bekerja. Ia serahkan semua pengurusan munawir pada neng, adiknya.
Mbah dalem mulai jarang terlihat di rumahnya, pergi tanpa pamit berhari-hari
dan pulang tanpa ada sepatah katapun yang menghiasi.
“mas....munawir demam mas, harus dibawa ke
dokter.” Ujar neng yang khawatir dengan munawir yang semalaman demam dan tak
turun-turun.
“gak ada uang neng....udah diminumin jamu dulu
saja neng.”
Mbah dalem cenderung mulai acuh tak acuh
dengan munawir, ia bahkan langsung pergi begitu saja tanpa pamit setelah
sebelumnya nyruput kopi milik mas pur di meja dapur.
Sudah Seminggu mbah dalem gak ada kabar dan
gak pulang-pulang. Mas pur dan neng mulai gusar. Jangan-jangan mbah dalem kenapa-napa.
Kemana dia mbah dalem. Tak ada satu orangpun tetangganya yang tau batang hidung
mbah dalem.
“mas dalem pulang mas......” neng yang
langsung menuju ke kamar berusaha memberitahu mas pur yang sedang menina boboin
munawir di atas kasur.
Mas pur langsung menuju ruang depan dan
ternyata mbah dalem sudah terlentang di dipan butut milik keluarga pur itu.
“dari mana saja kang, gak ada kabar gak ada
info...apa gak khawatir sama munawir kang?”
Mbah dalem asik dengan istirahatnya, ia
pura-pura telah tertidur dan tak menghiraukan mas pur. Mas pur yang dicuekin
langsung meninggalkan mbah dalem tanpa kata dan tanpa jawaban pasti tentang apa
yang dilakukannya selama seminggu itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
***
“haaa......haahahaha.......haa.......grebeg...grubekk..grebek.....”
Tengah malam suara gaduh membangunkan mas pur
dan neng, ternyata suara itu dari kamar mbah dalem.
“ada apa mas, mas dalem teriak
teriak.....kesurupan mas.” Neng nyeplos sekenanya.
“hus....jangan sembarangan neng, nglindur
kali, coba kita lihat cepet...”
Dua insan itu mengendap-endap menuju pintu
kamar mbah dalem....mbah dalem diam sejenek....lagi-lagi tertawa terbahak-bahak
sendiri...mas pur dan neng makin heran dibuatnya. Kenapa dan ada apa dengan mas
dalem? Gumam mas pur.
Tok.....tok...tok......mas pur memberanikan
diri mengetuk pintu kamar mbah dalem.
“ono opo mas? Mas ?” (ada apa mas, mas?)
Mbah dalem diam lagi.....setelah sekitar lima
menit hening tanpa suara...tiba-tiba pintu kamar dibuka.
“hahahaha...hahaha........” mbah dalem malah
ketawa di depan pur dan neng.
“pie mas....kok ketawa-ketawa ngono?” mas pur
heran, mbah dalem malah makin keras ketawa.
“saya berhasil...haha....berhasil
pur....berhasil.....hahaha” pur makin bingung, apanya yang berhasil, ini orang
nglindur atau kesurupan? Tapi masih ingat nama pur dan neng, ah berarti mbah
dalem nggak kesurupan.
“opone sing berhasil mas?” tanya pur.
“sekarang saya sakti pur......gak kalah sama
mbah noro kampung gegerkalong.....hahahaha.....”
Ternyata selama seminggu itu mbah dalem
minggat ke sebuah padepokan kramat, dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap sakti. Ia belajar bermacam
ilmu-ilmu hitam. Sampai melakukan bermacam ritual yang penuh kesyirikan.
Puncaknya adalah malam ini....pertapa bilang kepada mbah dalem, kalau malam itu
ia akan didatangi dalam mimpimnya sesosok yang akan memberi ilham dan kekuatan. Ternyata benar, syaitan
memanfaatkannya, mbah dalem benar-benar merasa dirinya telah sakti. Maka mulai
malam itulah ia didaulat oleh dirinya sendiri menjadi Mbah dalem daeng
sumangka. Dukun sakti dari kampung jatiwaru, yang tak kalah sakti dengan mbah
noro dukun kampung geger kalong.
***
Sejak saat itulah, mbah dalem mulai buka
praktek di rumahnya. Mulanya hanya orang-orang kampung yang minta air suwuk dan
rapalan macam-macam untuk berbagai macam masalah, lama kelamaan namanya naik
daun dan keluar kampung hingga terkenal seantero daerah.
Sejak saat itu, perhatiannya pada munawir sama
sekali tak ada. Mbah dalem sibuk sekali dengan agenda perdukunannya. Diundang
sana sini untuk berbagai acara syirik. Sejalan dengan itu, keuangan mbah dalem
makin membaik bahkan mampu menyaingi pak lurah. Mbah dalem mulai membangun
kehidupannya, ia beli tanah di mana-mana, dan rumah reotnya dulu kini telah di
bangun tak kalah megah dan modern dengan rumah pak lurah. Hanya mbah dalem gak
punya mobil, selain gak bisa nyetir dia juga lebih suka diantar sugeng ke
mana-mana, tukang ojek dikampungnya.
Rumah itu kini telah dijual oleh munawir, tanah
mbah dalem yang tersebar di mana-mana munawir serahkan pengurusannya kepada mas
pur,sebagian ia wakafkan untuk jadi lahan pendidikan ataupun masjid/mushola,
sedangkan semua hasil sisa sawahnya mas pur yang urus, sedikitpun munawir tak
pernah meminta, padahal mas pur selalu menawarkannya dan berkali-kali munawir
menolak. “nggak lah....gak mau saya makan dari tanah hasil perdukunan.” Munawir selalu menjawabnya seperti itu. Munawir
telah mandiri di bandung, ia tak mau lagi menerima apapun hasil dari usaha yang
berhubungan dengan mbah dalem, orang yang tak pernah menganggapnya sejak kecil,
padahal kehadiran munawir telah diimpikannya sejak lama, tapi saaat munawir
lahir, ia justru menyia-nyiakannya.
***
@baba meiza di Cianjur kota santri, 09:13/Jumat, 09 Oktober
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar