LENTERA DI KELABUNYA JIWA - Aljazary Qur'an I Berkhidmah Untuk Qur'an

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 16 Juli 2018

LENTERA DI KELABUNYA JIWA






suatu hari....


“bu asih tau gak, rumah dukun Mbah Dalem itu?” tanya bu neni kepada bu asih.
“kenapa dengan rumah dukun itu bu?” bu neni penasaran dengan kabar burung yang dibawa teman sejawatnya itu.
“mau dijual katanya bu....kemarin saya lihat si munawir anaknya mbah dalem dateng kerumah itu, denger-denger sih mau dijual ke orang bogor....”
“iihh....kok mau yah itu orang, dia belum tau itu rumah siapa bu?”
“gak tau bu, mungkin saja dia juga dukun bu...makanya mau beli ....”
“ah jangan sampai lah bu, jadi serem lagi nanti kampung kita kalo mati dukun satu, dateng lagi dukun yang baru.....ihhh.......” mereka bergidik...

Kampung  jatiwaru memang sedang panas-panasnya dengan kejadian matinya seorang dukun yang dianggap sakti mandraguna dan menakutkan. Dalem Daeng Sumangka nama aslinya. Orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Mbah Dalem, sidukun sakti kampung  jatiwaru.

Mbah dalem secara fisik tidak menakutkan, badannya kurus kerempeng, tingginya sekitar 170cm, kulitnya keriput, sebab telah lama bergesekan dengan debu zaman, umurnya sekitar 75 tahun. tapi Ada satu hal yang mungkin buat pelanggannya percaya kalo dia sakti,  jenggotnya yang putih dan panjangnya hampir sampai ke pusar. 

Perlu diketahui bahwa, kadang seorang dukun itu memang berusaha untuk terus terlihat meyakinkan orang dengan bermacam penampilannya kalo dia itu sakti, mbah dalem salah satu dukun yang berusaha terlihat soleh didepan orang, makanya ia pelihara jenggotnya dan selalu memakai jubah panjang saat menjamu pelanggannya. Bahkan semua aksesoris perdukunannya selalu dibumbui dengan nuansa-nuansa arab....cara klasik seorang dukun agar orang yakin bahwa dia adalah dukun yang beraliran putih dan tidak bertentangan dengan ajaran agamanya. 

Tentu, bagi orang yang hanya melihat secara tampilan fisik akan mudah tertipu dengan mbah dalem...apalagi ilmu kalamnya begitu hebat, ia pandai mengelabui orang dengan susunan kata-kata manisnya yang ternyata bohong besar.

***
“mas fadly jangan sungkan-sungkan kalo minta bantuan bapak, in sya Alloh bapak bisa bantu.” Ujar pak dirman, lurah desa jatiwaru itu.
“iya pak terima kasih, ini aja udah ngrepotin bapak banyak pak....” jawab fadly malu-malu.
“sudah tugas bapak jadi lurah di sini mas. Melayani masyarakat dan juga mengayomi mereka. Lah mas kan mau jadi warga sini juga toh....berarti harus bapak layani juga kan? Hehe....”
“e...iya pak....sekali lagi terima kasih.”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

                      DEMAM K-POP MENJAMUR DIMANA-MANA


------------------------------------------------------------------------------------------------------

Fadlylah yang akan membeli rumah mantan dukun sakti -sakit-  itu, ia dipindah tugaskan dari bogor tempat awal ia mengabdi dan bekerja, ia kini telah diangkat sebagai PNS dari jalur DEPAG. Dengan pangkat yang menjanjikan dan gaji lumayan untuk ukuran warga yang tinggal di perkampungan kecil dan jauh dari perkotaan seperti  jatiwaru.

“mas, rumahnya sebenernya bagus, bahkan masih layak dihuni, Cuma tinggal di cat lagi sama atapnya ada yang perlu diganti saja.”ujar pak dirman.
“iya pak, sekalian minta dicariin tukangnya buat ngecat langsung rumah itu sebelum saya dan istri pindahan yah pak...hehe”
“tenang mas, tinggal operasionalnya aja yang penting lancar...in sya Alloh mas tinggal terima kunci pintunya...hehe”
“sip...pak.”
“oh ya, mas fadly tau dari mana kok bisa pindah ke sini langsung nemu rumah yang dijual?” tanya pak dirman yang kini mulai menyruput kopi hitam buatan ibu dirman.
“dari internet pak.....tiga bulan sebelum resmi dipindah tugaskan ke sini saya sudah cari kontrakan sebetulnya, tapi pas kemarin sebulan sebelum pindah saya coba nyari lagi, ternyata ada rumah yang dijual dan harganyapun bisa dibilang murah pak....saya langsung saja beli, ternyata itu anaknya pemilik rumah, mas munawir namanya.” Jelas fadly kepada lurah berkumis tebal itu.
“oh.....tapi mas munawir cerita tentang sejarah rumah itu gak mas?” pak lurah agaknya curiga kalau munawir jangan-jangan menjual rumah itu dengan harga murah karena gak ada yang mau beli, sebab sejarah rumah itu sangat sakral bagi penduduk jatiwaru, bahkan sampai ke kampung-kampung lain yang  jaraknya berpuluh kilometer pun masih merasakan aura sakral jika disebut nama mbah dalem, apalagi sarangnya!
“gak banyak pak....dia Cuma pesen, kalo ada benda-benda aneh yang saya temukan dikubur atau dibakar aja gitu pak.”
“oh....tapi taukan siapa bapaknya mas munawir itu?”
“tau pak....mbah dalem...”
“mas tau siapa mbah dalem itu?” pak dirman merasa aneh, sepertinya fadly tenang-tenang saja saat dengar tentang mbah dalem. Bahkan biasa saja, ia sama sekali tidak terkejut dan takut saat pak dirman secara singkat menceritakan kehidupan mbah dalem dan rumor yang berkembang di masayarakat.
“sebab peninggalan satu-satunya selain sawah mbah dalem ya Cuma rumah itu mas....jadi warga sini masih menganggap sakral rumah itu, bahkan sampai sekarang.” Ujar pak dirman.
“mas munawir itu anak keberapanya mbah dalem pak?”
“dia anak semata wayang mbah dalem yang durhaka pada warisan leluhurnya mas.” Pak dirman senyum-senyum kecil.
“maksud bapak?” fadly merasa janggal dengan kata durhaka itu. Durhaka pada dukun?
“iya mas....mas munawir itu sejak 8 tahun lalu pergi dari rumah angker itu entah kemana. Ceritanya panjang mas, intinya mas munawir sudah muak dengan kelakuan mbah dalem, ia juga sama sekali tidak mau mewarisi keahlian bapaknya, bahkan menentang habis-habisan pekerjaan mbah dalem. ”
“terus, sebelum pergi dari rumahnya, darimana mas munawir dapet makan pak?”
“jadi buruh kuli mas....bahkan jarang sekali ia tidur di rumahnya, ia lebih milih kedinginan di mushola daripada harus selantai dengan mbah dalem, kadang di rumah iparnya, mas pur.”
Obrolan ringan pak dirman dan fadly makin serius saat bu dirman tiba-tiba nongol dari balik tirai dapurnya, sambil membawa nampan berisi singkong kukus yang terlihat masih panas dan mengepulkan asap-asap kelezatan khas perkampungan itu, ia juga mulai membumbui cerita-cerita sakral pak dirman dengan gaya seorang ibu-ibu yang selalu mendramatisir cerita-ceritanya itu.
“waktu mbah dalem mati, gak ada yang mau nyolatin mas....bahkan warga baru menemukan mayatnya setelah tiga hari dia mati, itupun calon pelanggannya yang akan meminta air suwuk ke mbah dalem.” Ujar bu dirman dengan raut muka yang fadly rasa berlebihan sekali, padahal mbah dalem kan sudah mati, ngapain ditakutin.
“lah terus gimana pemakamannya bu...pak?” tanya fadly.
“gak tau dimana dia dikubur mas....satupun warga gak ada yang mau ngurusin, lah wong mayatnya aja udah bau busuk mas....” budirman mencoba meniru gaya orang sedang mual-mual seakan mencium bau busuk mayat mbah dalem.
“akhirnya saya telpon polisi mas....mayat mbah dalem kami serahkan ke polisi untuk dikubur dimanapun asalkan jangan di kampung  jatiwaru. Terpaksa kami jual kambing-kambing mbah dalem di samping rumahnya untuk membayar biaya pemakaman ke polisi.” Pak dirman mangap-mangap sambil menggigit singkong yang ternyata buat gigi sensitifnya itu berontak, sebab masih panas.
“mas munawir gak mau mengurusinya juga pak?”
“seminggu setelah matinya mbah dalem mas munawir baru pulang. Ia dapet info dari kepolisian, tapi bapak gak tau apakah mas munawir juga tau dimana makam mbah dalem, mungkin saja dia tahu dari kepolisian yang mengurusi mayatnya.”

Mbah dalem telah mati. Munawir yang harusnya jadi pewaris tunggal kesaktiannya telah durhaka pada petuah sakral mbah dalem. Warga jatiwaru juga masih kelabu soal status munawir sekarang, 8 tahun yang lalu ia tinggalkan mbah dalem dan kampungnya, tanpa suara dan tanpa jejak apa-apa. Munawir seakan telah menganggap bahwa bapaknya itu telah lama mati....mati dari perasaanya sebagai seorang ayah.

Mbah dalem dulunya bukanlah dukun. Ia hanya seorang buruh biasa, sebagaimana kebiasaan warga jatiwaru lainnya. Hari-harinya ia habiskan untuk mecari rumput buat kambing-kambingnya dan buruh serabutan di sawah dan kebun-kebun tetangganya.

Kegundahan hati mbah dalem dimulai saat usia mulai tua dan belum juga dikarunia seorang anakpun dari Sumirah istrinya. Hari-hari mereka kering sebab tak ada canda tawa sikecil yang mampu mengobati kelelah jiwa dan raga mereka. Sumirah terlihat menitikkan air matanya kala berdoa selepas sholatnya, ia dengan khusyu’ memuja dan meminta, berharap rahimnya terisi oleh janin kecil yang akan buat mbah dalem tersenyum kepadanya. 

Mbah dalem juga rajin sholat sebagaimana sumirah, dan saat putus asa dirasa telah menjadi harapan terakhir mereka, syaitanpun menghiasi kejahilan mereka....mas pur, adik ipar mbah dalem mengajaknya berbuat hal yang sangat besar dosanya. Datang ke dukun.

“wis lah kang,,,,mikir opo meneh to...wis tue urung oli anak, wis ayuk...njaluk banyu ngane mbah noro...” (udah lah kang, mikir apa lagi sih...udah tua belum dapet anak juga...udah yuk...minta air aja ke mbah noro...) ujar mas pur merayu-rayu mbah dalem untuk minta ajian sakti mbah noro biar sumirah bisa hamil.

Mbah dalem nurut kata adeknya. Ia datang ke kandang sakral mbah noro dan diberi bermacam syarat dan ritual-ritual aneh yang tak masuk akal. “Demi mbak sumirah hamil.” Mas pur terus mewas-wasi mbah dalem. Singkat cerita, semua syarat dan ritual telah dipenuhi mbah dalem.

dua bulan setelah ritual itu.....sumirah berhenti menstruasi.....sumirah hamil, benar-benar hamil. Tak kepalang bahagianya mbah dalem, bahkan ia hadiahkan satu kambingnya untuk mas pur yang telah menunjukan dia kepada mbah noro, dukun sakti yang menjadi awal inspirasi mbah dalem menjadi dukun.

Kejahilan merekalah yang telah membuat mereka jatuh dalam jurang dosa besar. Juga minimnya penyeru kebenaran yang bahkan tidak ada sama sekali saat itu dikampung jatiwaru. Dunia mereka masih diselimuti mistik dan hal yang bersifat kegaiban.

Kehidupan mbah dalem dan sumirah semakin terasa indah, mbah dalem menuruti semua yang diinginkan calon jabang bayinya. Sumirah bahkan sudah sedikit keluar rumah untuk buruh di kebun tetangga lagi....mbah dalemlah yang banting tulang dari pagi sampai sore, mempersiapkan segalanya untuk kedatangan belahan hati mereka tercinta.

“m....mbak su....mbak sum mau melahirkan kang......” mas pur tergopoh-gopoh dan nafasnya ngos-ngosan....ia berlari dari rumah ke sawah tempat mbah dalem sedang mencangkul sawah tetangganya.

Mbah dalem langsung menitipkan cangkulnya pada kawannya dan lari menyambut kehadiran buah hati tercintanya.

Singkat cerita sumirah melahirkan dibantu dukun bayi dikampungnya. Bayinya laki-laki. Mirip sekali dengan sumirah, hanya kupingnya saja yang mirip mbah dalem. Saat itu bidan belum ada di kampung, dan harus ke kota jika ingin melahirkan dibantu bidan. Sedang jarak ke kota butuh waktu sejam setengah naik L300 milik pak lurah, itupun kalau lancar.

“ini harus di bawa ke dokter lem....” ujar mbah sumini dukun bayi yang sudah kepala 5 itu.
“mbah gak bisa toh mbah....rumah sakit jauh harus ke kota mbah....biayanya juga pasti mahal mbah...”keluh mbah dalem.
“bahaya iki kalo di biarin, mbah sudah berusaha sebisa mbah....tapi pendarahan sum gak mau mandeg-mandeg (berhenti).” Jelas mbah sumini.
“udah malem tapi mbah...jam segini pak lurah udah tidur, besok pagi-pagi gimana mbah?”
“mbah takut lem....kalo nggak segera takut kebablasan....”
“usahain dulu sebisa mbah yah...nanti saya bayar duakali lipat mbah...mbah tidur disini aja malam ini....temenin sum mbah....”

"tapi lem...."

bagaimana akhir cerita dari istri dan anak mbah dalem selanjutnya???
in sya Allah dilanjut di edisi selanjutnya.
bersambung.....(hari kamis update bagian 2, in sya Allah)

UPDATE: LENTERA DI KELABUNYA JIWA 2 (END)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman