suatu hari....
“bu asih tau gak, rumah dukun Mbah Dalem itu?”
tanya bu neni kepada bu asih.
“kenapa dengan rumah dukun itu bu?” bu neni
penasaran dengan kabar burung yang dibawa teman sejawatnya itu.
“mau dijual katanya bu....kemarin saya lihat
si munawir anaknya mbah dalem dateng kerumah itu, denger-denger sih mau dijual
ke orang bogor....”
“iihh....kok mau yah itu orang, dia belum tau
itu rumah siapa bu?”
“gak tau bu, mungkin saja dia juga dukun
bu...makanya mau beli ....”
“ah jangan sampai lah bu, jadi serem lagi nanti
kampung kita kalo mati dukun satu, dateng lagi dukun yang baru.....ihhh.......”
mereka bergidik...
Kampung
jatiwaru memang sedang panas-panasnya dengan kejadian matinya seorang
dukun yang dianggap sakti mandraguna dan menakutkan. Dalem Daeng Sumangka nama
aslinya. Orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Mbah Dalem, sidukun sakti
kampung jatiwaru.
Mbah dalem secara fisik tidak menakutkan,
badannya kurus kerempeng, tingginya sekitar 170cm, kulitnya keriput, sebab
telah lama bergesekan dengan debu zaman, umurnya sekitar 75 tahun. tapi Ada
satu hal yang mungkin buat pelanggannya percaya kalo dia sakti, jenggotnya yang putih dan panjangnya hampir
sampai ke pusar.
Perlu diketahui bahwa, kadang seorang dukun itu memang
berusaha untuk terus terlihat meyakinkan orang dengan bermacam penampilannya
kalo dia itu sakti, mbah dalem salah satu dukun yang berusaha terlihat soleh
didepan orang, makanya ia pelihara jenggotnya dan selalu memakai jubah panjang
saat menjamu pelanggannya. Bahkan semua aksesoris perdukunannya selalu dibumbui
dengan nuansa-nuansa arab....cara klasik seorang dukun agar orang yakin bahwa
dia adalah dukun yang beraliran putih dan tidak bertentangan dengan ajaran
agamanya.
Tentu, bagi orang yang hanya melihat secara tampilan fisik akan mudah
tertipu dengan mbah dalem...apalagi ilmu kalamnya begitu hebat, ia pandai
mengelabui orang dengan susunan kata-kata manisnya yang ternyata bohong besar.
***
“mas fadly jangan sungkan-sungkan kalo minta
bantuan bapak, in sya Alloh bapak bisa bantu.” Ujar pak dirman, lurah desa
jatiwaru itu.
“iya pak terima kasih, ini aja udah ngrepotin bapak
banyak pak....” jawab fadly malu-malu.
“sudah tugas bapak jadi lurah di sini mas.
Melayani masyarakat dan juga mengayomi mereka. Lah mas kan mau jadi warga sini
juga toh....berarti harus bapak layani juga kan? Hehe....”
“e...iya pak....sekali lagi terima kasih.”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fadlylah yang akan membeli rumah mantan dukun
sakti -sakit- itu, ia dipindah tugaskan
dari bogor tempat awal ia mengabdi dan bekerja, ia kini telah diangkat sebagai
PNS dari jalur DEPAG. Dengan pangkat yang menjanjikan dan gaji lumayan untuk
ukuran warga yang tinggal di perkampungan kecil dan jauh dari perkotaan seperti
jatiwaru.
“mas, rumahnya sebenernya bagus, bahkan masih
layak dihuni, Cuma tinggal di cat lagi sama atapnya ada yang perlu diganti
saja.”ujar pak dirman.
“iya pak, sekalian minta dicariin tukangnya
buat ngecat langsung rumah itu sebelum saya dan istri pindahan yah pak...hehe”
“tenang mas, tinggal operasionalnya aja yang
penting lancar...in sya Alloh mas tinggal terima kunci pintunya...hehe”
“sip...pak.”
“oh ya, mas fadly tau dari mana kok bisa
pindah ke sini langsung nemu rumah yang dijual?” tanya pak dirman yang kini
mulai menyruput kopi hitam buatan ibu dirman.
“dari internet pak.....tiga bulan sebelum
resmi dipindah tugaskan ke sini saya sudah cari kontrakan sebetulnya, tapi pas
kemarin sebulan sebelum pindah saya coba nyari lagi, ternyata ada rumah yang
dijual dan harganyapun bisa dibilang murah pak....saya langsung saja beli,
ternyata itu anaknya pemilik rumah, mas munawir namanya.” Jelas fadly kepada
lurah berkumis tebal itu.
“oh.....tapi mas munawir cerita tentang
sejarah rumah itu gak mas?” pak lurah agaknya curiga kalau munawir
jangan-jangan menjual rumah itu dengan harga murah karena gak ada yang mau
beli, sebab sejarah rumah itu sangat sakral bagi penduduk jatiwaru, bahkan
sampai ke kampung-kampung lain yang
jaraknya berpuluh kilometer pun masih merasakan aura sakral jika disebut
nama mbah dalem, apalagi sarangnya!
“gak banyak pak....dia Cuma pesen, kalo ada benda-benda
aneh yang saya temukan dikubur atau dibakar aja gitu pak.”
“oh....tapi taukan siapa bapaknya mas munawir
itu?”
“tau pak....mbah dalem...”
“mas tau siapa mbah dalem itu?” pak dirman
merasa aneh, sepertinya fadly tenang-tenang saja saat dengar tentang mbah
dalem. Bahkan biasa saja, ia sama sekali tidak terkejut dan takut saat pak
dirman secara singkat menceritakan kehidupan mbah dalem dan rumor yang
berkembang di masayarakat.
“sebab peninggalan satu-satunya selain sawah mbah
dalem ya Cuma rumah itu mas....jadi warga sini masih menganggap sakral rumah
itu, bahkan sampai sekarang.” Ujar pak dirman.
“mas munawir itu anak keberapanya mbah dalem
pak?”
“dia anak semata wayang mbah dalem yang
durhaka pada warisan leluhurnya mas.” Pak dirman senyum-senyum kecil.
“maksud bapak?” fadly merasa janggal dengan
kata durhaka itu. Durhaka pada dukun?
“iya mas....mas munawir itu sejak 8 tahun lalu
pergi dari rumah angker itu entah kemana. Ceritanya panjang mas, intinya mas
munawir sudah muak dengan kelakuan mbah dalem, ia juga sama sekali tidak mau
mewarisi keahlian bapaknya, bahkan menentang habis-habisan pekerjaan mbah
dalem. ”
“terus, sebelum pergi dari rumahnya, darimana
mas munawir dapet makan pak?”
“jadi buruh kuli mas....bahkan jarang sekali
ia tidur di rumahnya, ia lebih milih kedinginan di mushola daripada harus
selantai dengan mbah dalem, kadang di rumah iparnya, mas pur.”
Obrolan ringan pak dirman dan fadly makin
serius saat bu dirman tiba-tiba nongol dari balik tirai dapurnya, sambil
membawa nampan berisi singkong kukus yang terlihat masih panas dan mengepulkan
asap-asap kelezatan khas perkampungan itu, ia juga mulai membumbui cerita-cerita
sakral pak dirman dengan gaya seorang ibu-ibu yang selalu mendramatisir
cerita-ceritanya itu.
“waktu mbah dalem mati, gak ada yang mau
nyolatin mas....bahkan warga baru menemukan mayatnya setelah tiga hari dia
mati, itupun calon pelanggannya yang akan meminta air suwuk ke mbah dalem.”
Ujar bu dirman dengan raut muka yang fadly rasa berlebihan sekali, padahal mbah
dalem kan sudah mati, ngapain ditakutin.
“lah terus gimana pemakamannya bu...pak?”
tanya fadly.
“gak tau dimana dia dikubur mas....satupun
warga gak ada yang mau ngurusin, lah wong mayatnya aja udah bau busuk mas....”
budirman mencoba meniru gaya orang sedang mual-mual seakan mencium bau busuk
mayat mbah dalem.
“akhirnya saya telpon polisi mas....mayat mbah
dalem kami serahkan ke polisi untuk dikubur dimanapun asalkan jangan di
kampung jatiwaru. Terpaksa kami jual
kambing-kambing mbah dalem di samping rumahnya untuk membayar biaya pemakaman
ke polisi.” Pak dirman mangap-mangap sambil menggigit singkong yang ternyata
buat gigi sensitifnya itu berontak, sebab masih panas.
“mas munawir gak mau mengurusinya juga pak?”
“seminggu setelah matinya mbah dalem mas
munawir baru pulang. Ia dapet info dari kepolisian, tapi bapak gak tau apakah
mas munawir juga tau dimana makam mbah dalem, mungkin saja dia tahu dari
kepolisian yang mengurusi mayatnya.”
Mbah dalem telah mati. Munawir yang harusnya
jadi pewaris tunggal kesaktiannya telah durhaka pada petuah sakral mbah dalem.
Warga jatiwaru juga masih kelabu soal status munawir sekarang, 8 tahun yang lalu
ia tinggalkan mbah dalem dan kampungnya, tanpa suara dan tanpa jejak apa-apa.
Munawir seakan telah menganggap bahwa bapaknya itu telah lama mati....mati dari
perasaanya sebagai seorang ayah.
Mbah dalem dulunya bukanlah dukun. Ia hanya
seorang buruh biasa, sebagaimana kebiasaan warga jatiwaru lainnya. Hari-harinya
ia habiskan untuk mecari rumput buat kambing-kambingnya dan buruh serabutan di
sawah dan kebun-kebun tetangganya.
Kegundahan hati mbah dalem dimulai saat usia
mulai tua dan belum juga dikarunia seorang anakpun dari Sumirah istrinya.
Hari-hari mereka kering sebab tak ada canda tawa sikecil yang mampu mengobati
kelelah jiwa dan raga mereka. Sumirah terlihat menitikkan air matanya kala
berdoa selepas sholatnya, ia dengan khusyu’ memuja dan meminta, berharap
rahimnya terisi oleh janin kecil yang akan buat mbah dalem tersenyum kepadanya.
Mbah dalem juga rajin sholat sebagaimana sumirah, dan saat putus asa dirasa
telah menjadi harapan terakhir mereka, syaitanpun menghiasi kejahilan
mereka....mas pur, adik ipar mbah dalem mengajaknya berbuat hal yang sangat
besar dosanya. Datang ke dukun.
“wis lah kang,,,,mikir opo meneh to...wis tue
urung oli anak, wis ayuk...njaluk banyu ngane mbah noro...” (udah lah kang,
mikir apa lagi sih...udah tua belum dapet anak juga...udah yuk...minta air aja
ke mbah noro...) ujar mas pur merayu-rayu mbah dalem untuk minta ajian sakti
mbah noro biar sumirah bisa hamil.
Mbah dalem nurut kata adeknya. Ia datang ke kandang
sakral mbah noro dan diberi bermacam syarat dan ritual-ritual aneh yang tak
masuk akal. “Demi mbak sumirah hamil.” Mas pur terus mewas-wasi mbah dalem.
Singkat cerita, semua syarat dan ritual telah dipenuhi mbah dalem.
dua
bulan setelah ritual itu.....sumirah berhenti menstruasi.....sumirah hamil,
benar-benar hamil. Tak kepalang bahagianya mbah dalem, bahkan ia hadiahkan satu
kambingnya untuk mas pur yang telah menunjukan dia kepada mbah noro, dukun
sakti yang menjadi awal inspirasi mbah dalem menjadi dukun.
Kejahilan merekalah yang telah membuat mereka
jatuh dalam jurang dosa besar. Juga minimnya penyeru kebenaran yang bahkan
tidak ada sama sekali saat itu dikampung jatiwaru. Dunia mereka masih
diselimuti mistik dan hal yang bersifat kegaiban.
Kehidupan mbah dalem dan sumirah semakin
terasa indah, mbah dalem menuruti semua yang diinginkan calon jabang bayinya.
Sumirah bahkan sudah sedikit keluar rumah untuk buruh di kebun tetangga
lagi....mbah dalemlah yang banting tulang dari pagi sampai sore, mempersiapkan
segalanya untuk kedatangan belahan hati mereka tercinta.
“m....mbak su....mbak sum mau melahirkan
kang......” mas pur tergopoh-gopoh dan nafasnya ngos-ngosan....ia berlari dari
rumah ke sawah tempat mbah dalem sedang mencangkul sawah tetangganya.
Mbah dalem langsung menitipkan cangkulnya pada
kawannya dan lari menyambut kehadiran buah hati tercintanya.
Singkat cerita sumirah melahirkan dibantu
dukun bayi dikampungnya. Bayinya laki-laki. Mirip sekali dengan sumirah, hanya
kupingnya saja yang mirip mbah dalem. Saat itu bidan belum ada di kampung, dan
harus ke kota jika ingin melahirkan dibantu bidan. Sedang jarak ke kota butuh
waktu sejam setengah naik L300 milik pak lurah, itupun kalau lancar.
“ini harus di bawa ke dokter lem....” ujar
mbah sumini dukun bayi yang sudah kepala 5 itu.
“mbah gak bisa toh mbah....rumah sakit jauh
harus ke kota mbah....biayanya juga pasti mahal mbah...”keluh mbah dalem.
“bahaya iki kalo di biarin, mbah sudah
berusaha sebisa mbah....tapi pendarahan sum gak mau mandeg-mandeg (berhenti).”
Jelas mbah sumini.
“udah malem tapi mbah...jam segini pak lurah udah
tidur, besok pagi-pagi gimana mbah?”
“mbah takut lem....kalo nggak segera takut
kebablasan....”
“usahain dulu sebisa mbah yah...nanti saya
bayar duakali lipat mbah...mbah tidur disini aja malam ini....temenin sum
mbah....”
"tapi lem...."
bagaimana akhir cerita dari istri dan anak mbah dalem selanjutnya???
in sya Allah dilanjut di edisi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar