Berikut adalah beberapa adab yang harus diperhatikan oleh seorang da'i dalam ber-amar ma'ruf nahi munkar, yaitu:
1. Ikhlas Dalam Berdakwah
Motivasi utama bagi seorang da’i tatkala berdakwah ialah rasa
cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kepada agamaNya, kepada
sesamanya, mengharapkan kebaikan untuk orang yang didakwahi. Keikhlasan da’i
dalam dakwahnya, merupakan perkara yang paling penting bagi keberhasilan
dakwahnya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan
tentang para nabi tatkala mereka berkata kepada kaumnya:
فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah
sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepadaNya)”. [Yunus:72]
2. Ilmu
Tentang ilmu, ini meliputi tiga perkara:
a). Ilmu agama.
Seorang da’i harus mengetahui syariat Allah subhanahu wa
ta’ala dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, sehingga mampu
berdakwah di atas ilmu dan hujjah. Allah telah menjelaskan dalam firmaNya:
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci
Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
Makna bashirah dalam ayat ini ialah ilmu.
b). Ilmu tentang keadaan orang yang hendak didakwahinya.
Dengan mengetahui keadaan orang yang hendak didakwahinya, sehingga
seorang da’i sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi medan dakwah di
depannya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz ke Yaman,
Beliau n memberikan wasiat:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesunggungnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”. (HR
Bukhari, Juz 4, hlm. 1580).
Dalam hadist ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan
kepada siapa dia diutus, sehingga dia mengetahui yang akan dihadapinya,
kemudian mempersiapkan diri.
c). Seorang da’i hendaklah mengetahui ilmu tentang metode dakwah.
3. Beramal Dengan Apa Yang Didakwahkan
Ini merupakan sifat yang wajib dimiliki seorang da’i. Dia harus
menjadi suri tauladan bagi orang lain tentang apa yang didakwahkannya, sehingga
bukan termasuk orang yang mengajak kepada kebaikan namun justru dia meninggalkannya;
mencegah dari sesuatu, namun dia sendiri melakukannya. Orang seperti ini
termasuk golongan orang-orang yang merugi. Adapun orang yang beriman, mereka
menyeru kepada kebenaran, beramal dengannya, bersegera dan bersemangat dalam
mengamalkannya dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3).
4. Sabar
Sabar merupakan penopang yang paling kuat bagi seorang muhtasib
yang sukses. Seorang muhtasib itu membutuhkan kesabaran sebelum, ketika dan
setelah berdakwah. Dengan inilah Allah memerintahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam, Ia berfirman :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya ulul azmi dari para
rasul.”
Sabar di dalam dakwah kedudukannya bagaikan kepala terhadap jasad.
Maka tidak ada dakwah bagi orang yang tidak memiliki kesabaran sebagaimana
tidak ada jasad bagi orang yang tidak memiliki kepala.
Telah ada pada kekasih kita shallallahu ‘alaihi wa salam uswah
hasanah (panutan yang baik) bagi diri kita, beliau telah melangsungkan
dakwahnya selama 23 tahun, berdakwah menyeru kepada Alloh siang dan malam,
secara diam-diam maupun terang-terangan. Namun, tidak ada satupun yang dapat
memalingkan beliau dari dakwahnya dan tidak ada pula yang dapat mengehentikan
upaya beliau.
5. Hikmah
Secara ringkas, makna hikmah adalah
tepat dalam ucapan dan sikap, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Seorang muhtasib harus mempunyai kearifan dalam dakwahnya. Yaitu dengan
menggunakan cara yang terbaik sesuai dengan keadaan dan tempatnya, karena
manusia tidak memiliki cara yang sama dalam berfikir, tingkat pemahaman dan
tabiatnya. Demikian juga penerimaan mereka terhadap kebenaran yang didakwahkan,
ada yang langsung menerima tanpa harus berfikir panjang, ada pula yang perlu
berdiskusi terlebih dahulu, terkadang harus diiringi dengan perdebatan yang
cukup panjang. Maka seorang muhtasib dituntut untuk menggunakan metode yang
sesuai dengan kondisi masing-masing orang, sehingga dakwahnya bisa lebih
diterima masyarakat dan tepat sasaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An
Nahl:125]
6. Mendahulukan yang
prioritas
Sesuatu yang pertama kali diserukan oleh para rasul ‘alaihim
ash-Sholatu was Salam adalah dakwah kepada aqidah shahihah,
karena aqidah shahihah merupakan pondasi. Alloh Ta’ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan
kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku,
Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.” (QS al-Anbiya’ : 25).
Apabila aqidah telah lurus, mereka menyeru kepada perkara-perkara
agama yang lainnya, baik berupa perkara-perkara yang fardhu (wajib), nafilah
(sunnah), adab dan selainnya. Untuk itu wajib bagi setiap muhtasib supaya
mendahulukan yang prioritas di dalam dakwahnya, dan yang demikian ini merupakan
sebab-sebab tercapainya kesukesan di dalam dakwah.
7. Berakhlak yang baik
Diantara bentuk akhlak yang
baik adalah penuh kasih sayang, kelemahlembutan, keramahan, wajah yang
berseri-seri, tawadhu’
(rendah diri) dan tutur kata yang halus. Alloh Azza wa Jalla telah menyanjung
panutan para du’at Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam firman-Nya :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sungguh pada dirimu terdapat perangai yang agung.”
Dan kita memiliki teladan yang baik pada diri beliau Shallallahu
’alaihi wa Salam. Betapa banyak orang yang masuk islam disebabkan oleh
kelemahlembutan, kemuliaan dan sifat pengasih beliau padahal dahulunya mereka
adalah orang yang berada di atas kejahiliyahan, lalu menjadi sahabat mulia yang
berperangai baik.
Siapa saja dari para du’at yang tidak berperangai dengan akhlak
yang baik, maka ia akan menyebabkan manusia lari darinya dan dari dakwahnya.
Karena tabiat manusia itu, mereka tidak mau menerima dari orang yang suka
mencela dan menunjukkan pendiskreditan terhadap mereka, walaupun yang diucapkan
orang itu adalah benar tanpa ada kebimbangan sedikitpun. Alloh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ’Imran : 159). Wallahu
a’lam.
#babameiza
#safinatunnajahalhisbah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar